Selama pelajaran berlangsung, Aditya merasa ada yang tidak beres. Perasaannya seperti terganggu, meski dia tidak bisa menjelaskan alasannya. Dia mencoba menepis pikiran tersebut dan tetap fokus pada pelajaran, namun rasa cemas itu terus menghantui benaknya.
Ketika bel istirahat pertama berbunyi, Aditya melihat ini sebagai kesempatan untuk memberikan jaket Davira. Dia dengan cepat mengambil jaket tersebut dari dalam tasnya dan membawa keluar dari kelas menggunakan kantong tas, berharap bisa segera menemui Davira.
Namun, setelah mencari-cari di berbagai sudut sekolah—di kantin, taman, hingga koridor dekat perpustakaan—Davira tidak juga terlihat. Perasaannya semakin tidak menentu, tapi dia terus berusaha mencarinya. Hingga akhirnya, di tengah pencariannya, Aditya justru bertemu dengan Rega di dekat lapangan basket.
Rega: (tersenyum tipis) "Lagi nyari siapa, Dit?"
Aditya: (terkejut, namun mencoba tetap tenang) "Oh, nggak... Cuma jalan-jalan aja."
Rega: (melirik kantong tas yang dipegang Aditya) "Beneran? Kayaknya lagi bawa sesuatu yang penting tuh."
Aditya: (berusaha mengalihkan perhatian) "Ah, ini cuma jaket biasa. Nggak ada yang penting."
Rega: (mendekat, tatapannya tajam) "Kamu yakin nggak nyari Davira? Aku lihat tadi kamu keliling-keliling. Pasti ada yang penting, kan?"
Aditya merasa sedikit gugup, tapi dia tidak ingin menunjukkan rasa takutnya.
Aditya: (berusaha tegas) "Itu urusanku, Rega. Kalau kamu nggak ada urusan, aku mau pergi."
Rega: (tertawa kecil) "Tenang aja, Dit. Tapi hati-hati aja, jangan sampai apa yang kamu rencanain malah berantakan."
Aditya tidak merespons lagi, dia hanya berlalu dari situ dengan langkah cepat, mencoba menyingkir dari Rega secepat mungkin. Rasa cemasnya semakin kuat setelah pertemuan itu, tetapi dia bertekad untuk tetap menjalankan rencananya. Meski begitu, perasaan tidak nyaman terus membayangi, membuatnya semakin waspada.
Saat bel masuk kelas berbunyi, Aditya berjalan pelan kembali ke kelas dengan perasaan sedih. Dia tidak berhasil menemukan Davira untuk memberikan jaketnya, dan sekarang waktu istirahat sudah habis. Sesampainya di kelas, dia duduk dengan wajah lesu, masih memegang jaket Davira di tasnya.
Aaron, yang sudah kembali ke tempat duduknya, langsung menyadari perubahan pada wajah Aditya.
Aaron: (melirik Aditya dengan penasaran) "Dit, kemana aja tadi? Kok aku nggak lihat kamu di kantin?"
Aditya: (menghela napas) "aku nyari Davira, Ron. Aku niatnya mau kasih jaket ini ke dia, tapi... Aku nggak ketemu dia."
Aaron: (mengernyitkan dahi) "Sampai ke seluruh sekolah kamu cari?"
Aditya: (mengangguk lemah) "Iya, aku keliling-keliling, tapi nggak ketemu. Malah ketemu Rega."
Aaron: (melotot kaget) "Rega? Apa yang dia bilang? Dia ganggu kamu lagi?"
Aditya: (menggeleng) "Nggak, dia cuma ngomong ngalor-ngidul aja, tapi bikin aku makin cemas."
Aaron: (menghibur dengan senyuman) "Santai, Dit. Mungkin sekarang belum waktunya. Lo bakal nemuin cara lain untuk kasih itu ke Davira. Mungkin nanti sepulang sekolah atau besok pagi. Aku yakin kamu bisa."
Aditya: (tersenyum tipis, tapi masih terlihat sedih) "Iya, semoga aja."
Aaron mencoba untuk membuat Aditya merasa lebih baik, tetapi Aditya masih merasa kecewa. Dia benar-benar ingin memberikan jaket itu langsung ke Davira, tapi sekarang dia harus menunggu kesempatan lain. Rasa sedih itu terus membayanginya, namun dia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pelajaran yang akan dimulai.
***
Saat pelajaran dimulai, Bu Rina memberikan tugas kelompok yang mengharuskan para siswa membentuk formasi empat bangku saling berhadapan. Aditya merasa lega karena tugas ini memberinya sedikit kesempatan untuk lebih dekat dengan Davira, meskipun mereka berada di kelompok yang berbeda. Kelompok Davira duduk di sebelah kelompok Aditya, cukup dekat sehingga Aditya bisa melihatnya dengan jelas.
Saat semua anak sibuk berdiskusi, Aditya memberanikan diri untuk berbicara dengan Davira. Dia menunggu momen yang tepat ketika suasana agak tenang, lalu dengan hati-hati, dia sedikit mendekat ke arah Davira dan berbicara dengan suara pelan.
Aditya: (berbisik pelan) "Davira, istirahat kedua atau pas pulang nanti, ketemu dulu di taman ya... Ada yang mau aku bicarakan."
Davira, yang awalnya terlihat serius mengerjakan tugas, mendadak menoleh dengan sedikit kaget, tetapi ia segera mengangguk pelan, memberikan isyarat bahwa ia mendengar dan setuju. Senyum tipis muncul di wajahnya sebelum kembali fokus pada tugas kelompok.
Aditya merasa sedikit lega, setidaknya ia telah mengatur pertemuan itu. Sekarang, ia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk memberikan jaket itu dan membicarakan perasaannya.
Saat istirahat kedua, Aditya dan Aaron duduk di kantin, sambil menyantap makanan mereka. Aditya merasa sedikit gugup, tetapi ia mencoba menenangkan diri dengan berbicara kepada Aaron tentang rencananya.
Aditya: "Aku pikir lebih baik kasih jaketnya ke Davira saat pulang sekolah. Biar suasananya lebih tenang dan nggak ada yang ganggu."
Aaron: "Ide bagus. Setidaknya kalau di taman, kalian bisa bicara lebih bebas. Tapi yakin mau tunggu sampai pulang? Kenapa nggak sekarang aja?"
Aditya: "Nggak, aku mau pastikan dia bisa dengar semua yang mau aku bilang tanpa gangguan. Lagian, kalau sekarang, mungkin nggak sempat juga."
Aaron mengangguk, setuju dengan keputusan Aditya. Namun, tak lama setelah itu, suasana hati Aditya berubah drastis. Saat ia membuka tasnya untuk memeriksa lagi jaket Davira, betapa terkejutnya ia menemukan bahwa jaket itu tidak lagi ada di dalam tasnya.
Aditya: (panik) "Aaron, jaketnya nggak ada! Aku yakin tadi aku simpan di sini!"
Aaron: (bingung) "Apa? Gimana bisa hilang? Kamu yakin nggak ada yang ngambil?"
Aditya langsung berdiri dan bergegas keluar dari kantin, mencari-cari jejak jaket itu. Hatinya semakin berat saat dia berusaha memikirkan siapa yang bisa mengambilnya. Namun, ketika ia sampai di koridor, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya seakan berhenti.
Davira berdiri di kejauhan, dengan jaketnya yang sekarang ada di tangannya. Tapi bukan wajah ramah atau senyum sumringah yang menyambut Aditya. Sebaliknya, wajah Davira terlihat marah dan jutek. Matanya menatap tajam ke arah Aditya, seolah-olah menuntut penjelasan.
Aditya: (dalam hati) "Oh tidak, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana dia bisa dapat jaket itu?"
Sebelum Aditya sempat mendekat untuk berbicara, Davira sudah berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Aditya yang berdiri kebingungan dan patah hati di koridor. Semua rencananya untuk berbicara dan memberi kejutan pada Davira berantakan begitu saja. Keadaan kini berubah menjadi lebih buruk, dengan Davira yang tampaknya semakin menjauh darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shades Of Grey
Randommengeksplorasi kompleksitas dan ambiguitas dalam sifat dan kepribadian diri sendiri dan teman-teman si tokoh utama. Mengisyaratkan bahwa tidak semua orang bisa dikategorikan dengan jelas sebagai 'baik' atau 'buruk', melainkan ada banyak area abu-abu...