Hai pembaca ceritaqu yang gantenk dan cantiek jelita #typingjamet, tolong banget dong like setiap chapter setelah kalian baca cerita biar aku seneng dikit gitulohh, buat aku salting dengan mengapresiasi karya akuu yaa! kiww🤩
Chapter Duapuluh Enam : Di mana? (Tanggung jawabmu mana?)
Happy Reading❗
***
"Apa kabar, Kara?"
Ingin sekali dia menjitak bibir Raga.
Nyatanya tiga kata pada satu kalimat itu berhasil terngiang-ngiang memenuhi sebagian otaknya, sungguh Kara kehilangan akal sehat, hilang sudah kedamainannya yang setenang air, seringan kapas, dan seteduh duduk dibawah pohon beringin.
Tidakkah Raga melihat keadaannya yang sebaik ini harus lenyap karena pertanyaan singkatnya yang ternyata seberpengaruh itu. Dia jadi ugal-ugalan.
Asing, harusnya sikap pria itu asing pada Kara. Apa yang sebenarnya ingin Raga dapatakan dari pertanyaan terselubungnya. Menjawab bahwa dia tak baik-baik saja tanpa ada Raga?
Wuih kabarnya sangat baik TENTU SAJA sebelum kedatangannya, sebelum rasanya yang dulu pernah ada seperti mulai bermekaran lagi.
Aaa syibal sekki, dia benci situasi ini.
"Rusuh amat ya jadi cewe." ucap Rava tenang, namun langsung mendapat tatapan laser dari Dhea.
"Lah bener? Padahal si Raga nanya doang kabar."
"Gini loh Rav, beda cerita kalo semisal-"
"Kalo dipikirin emang akuni rusuh banget kayanya, De. Bener juga Kata Rava dia kan nanyain kabar doang, kenapa aku kepikiran banget?" huh, benar kenapa Kara harus memikirkannya sampai rasanya rambut Kara akan berubah jadi putih.
"Benerkan, elunya jadi keliatan masih berharap, Ra."
"BENERR SIH BENERRR.. Tapi jangan jujur-jujur banget kenapaa Rav." Kara tertampar kenyataan.
"Ra ra ra ra ra!" Dhea menepuk pundaknya tak sabaran. Hampir mengenai pipinya karena kepala gadis itu yang berpaling ke arah berbeda.
"Karaaa ih."
"Apaan sih neng Dhea, suka rusuh ah."
"Ra ada Pak dosen baru."
"Mana ah lo jangan ngi-bul"
"Sore Pakk Raga." Dhea menyapa dengan sopan.
Kara sedang kaku ditempat.
"Kenapa belum pulang, masih ada kelas?" tanya Raga basa basi. Seperti dosen muda pada umumnya.
"Sudah selesai pak, kita otw pulang." jawab Rava.
"Kalau begitu hati-hati, sepertinya mau hujan. Saya duluan ya, mari." Raga tersenyum lalu pergi.
Selain shock karena Raga dosen, dia kaget kenapa Raga yang harus menjadi pengajar baru di tempat kuliahnya, tdan terlebih mengapa Raga bertingkah seolah tak mengenalnya, barang setitikpun Raga tidak melirik kearah Kara yang sebesar kambing ini. Amoeba kali ah gua, semenel.
"Ga bener nih." gumam Kara termenung.
"Siapa yang ga bener, Ra?"
"Eh aku misah deh, kalian pulang duluan ajaa. Aku ada urusan, penting nih nih yaaaaa duluann!!"
"LAHHH KEMANAAA RAAA?" teriak Dhea tanpa jawaban Kara yang tengah berlari dengan serius.
Motor scoopy keluaran lama yang Kara beli second ini tidak cukup cepat untuk dapat mengekori motor Kawasaki keluaran terbaru milik raga.
"Zzzzz ah males motornya kaya burok. Cepet banget ngilang."
"Duh tadi kemanaa, terakhir gue liat masuk gang sini, masa salah." keluh Kara menusuri gang sempit yang hanya cukup satu motor, dia sulit belok pada setiap belokan gang yang menikung tajam.
"Akhirnya!"
"—akhirnya ketemu saya, kan?" nah nah Raga tengah berpose 'santai dulu kawan' di samping motornya yang terparkir rapi di gang yang ternyata buntu.
"Haha ngimpi, by the way motornya kinclong banget nih Pak Dosen." ucap Kara kesusahan memundurkan motornya untuk kabur.
"Saya belokin, turun dulu." tawar Raga usng disetujui dengan setengah hati.
Namun Raga ini memang sulit ditebak, dia terus-terusan melirik ke bagian leher dan kerah baju Kara hingga dia yang risih terus bergerak dan refleks membenarkan kerah bajunya dengan gerakan rusuh.
Kenapa! Kenapa! Kenapa tiba-tiba.
Oh!- Kalungnya.
"Kenapa kamu ganti kalung pemberian saya?" ucapnya naik menatap mata Kara dengan tangan masih setia memegangi kalung lain yang Kara kenakan.
Padahal gap umurnya dengan Raga hanya terpaut satu tahun, tapi entah Kara yang melambat tumbuh atau dunia Raga yang terlalu cepat berlalu, dia jadi gagu gugu gaga dengan pembawaan Raga yang setengah baku itu. Plis deh dia itu cuman beda satu tahun!
"Kaget?"
"Haa.a.. g.gue?"
Kara membuang nafas menghilangkan pikiran kotor yang sebelumnya sempat ada. Dia menyingkirkan jemari Raga yang bertengker dengan tak sopan, "Gini loh, kalung yang lo kasih keliatan mahal, Ga. Gue simpen, takut ilang"
"Saya beli buat kamu pakai, Kara. Bukan di simpan."
"Cemburu ko sama kalung shopee gocengan." Kara mendelik, duh males banget berantem sama bocil kematian.
"Mau kabur beneran?" ucapan Raga tepat berhasil mengenai sebagian lambungnya, laper nih Kara ditanya mulu, dia terpaku membelakangi pemuda itu. "Sampai kapan, Ra?"
"Don't you miss me?"
"Sok inggris lukh!" bercandaannya tidak tepat sasaran, gagal niatnya untuk mengganti topik.
TUNGGUU, mata sayu dan berlinang itu? Seorang Raga otw menangis? Harus diabadikan!!!
Sebagian sel otaknya selalu tak serius di waktu-waktu seperti ini, itu reaksi ilmiah tubuh Kara saat merasa malu dan salting. Dia akan mengalihkan pikirannya dengah hal-hal absurd dan konyol.
"Ra-"
"Aneh lo abis ngapain sih, Ga? Tadi jail, terus sekarang tiba-tiba mellow, kaya kesurupan."
Raga malah tersenyum, seperti gemas sendiri melihat tingkah Kara.
"Ga, belakang lo apaan tuh." Kara menunjuk pada arah sembarang dengan muka panik, bagusnya Raga menurut dan ikut menengok.
"Sebelah mana, Ra?"
ZONK! Saat tubuh Raga terputar pada posisi semula yang berbeda hanyalah Kara yang menghilang, tanpa suara, wanita itu seperti berteleportasi, bisa-bisanya Raga tertipu lelucon renyah anak SMP seperti ini.
Tapi syukurnya, Raga merasa Kara masih sama. Kara yang ia kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cheerful Girl : Caramel
Novela JuvenilIni cerita tentang Caramel Aquenna yang sering dipanggil Kara, tentang hidupnya, tentang betapa sayangnya dia pada Berd- ayamnya, persahabatannya, cintanya dan bagaimana kesehariannya yang selalu berurusan dengan Ucun, orang gila depan sekolah. "KEN...