19. TEKAD DIKTA

3 4 0
                                    

    Hembusan angin menusuk tulang di malam hari yang dingin ini tak membuat Ayu bergeming dan beranjak dari tempat duduknya sedikit pun. Dia masih terganggu dengan pikirannya yang ramai.

Tadi pagi, dia kembali mengikuti pembelajaran di kampusnya. Jauh di dalam hatinya dia berharap orang-orang akan memberikan sedikit saja simpati untuknya, tapi pada kenyataannya sangat berbeda, orang-orang malah mengolok-oloknya.

"Yeu pincang. Kenapa gak sekalian buntung aja itu kaki."

"Yah kasian banget, gak bisa lari-larian lagi. Biasanya kan suka grasak-grusuk kalo jalan, sampe nabrak-nabrak orang malahan."

"Lah kok pake rok pendek. Mau pamer kaki patah maksudnya, mau cari perhatian."

Detik itu juga Ayu mengutuki dirinya sendiri, seharusnya tadi pagi dia bisa membujuk bundanya untuk berpakaian biasa saja, yang terpenting tidak mencolok agar tidak dicurigai.

Hal yang paling menyakitkan adalah, ketika dia sudah menaruh ekspektasinya jauh di dasar jurang, seseorang dengan sengaja memberikan asa kepadanya, melambungkan harapan, yang pada akhirnya hanya membuatnya jatuh kembali bahkan berkali-kali lipat dari sebelumnya.

"Ya ampun Yu, lo udah masuk. Sini gue bantu dorong ya," ujar Chika dengan ramah menghampirinya.

"Ih ngapain sih lo pake bantuin dia segala!" protes temannya.

"Gapapa, kasian. Eh Yu btw kaki lo kayak gini karena kecelakaan kan ya, lo gapapa kan?" Chika bak super hero yang menyelamatkannya dari kungkungan monster-monster bernama manusia.

"Kalo yang nabrak lo sih jelas-jelas kasian, mesti ganti rugi buat biaya pengobatan lo padahal dia gak salah apa-apa, atau jangan-jangan malah mobil dia ya yang kenapa-napa."

Gelak tawa orang-orang di koridor terdengar nyaring begitu Chika selesai mencemoohnya. Ayu yang tidak terima langsung berusaha untuk berdiri hendak melawan, tapi berakhir tersungkur di lantai karena kakinya masih belum sembuh. Tawa orang-orang semakin kencang memekik di telinganya. Saat itu dunia seolah-olah sangat sempit, penuh dan sesak, rongga dadanya terasa sakit bahkan hanya untuk menarik nafas sekalipun.

"Lagi ngapain di sini? Dingin, nanti sakit," ujar seseorang membuyarkan lamunannya.

"Aku bawain martabak tadi iseng aja sih langsung inget kamu pas liat." Dikta menaruh sekantong martabak diantara mereka.

"Ngapain sih di sini. Gak dingin emang?" tanya laki-laki itu memakaikan jaketnya untuk Ayu.

"Gak ada. Ngadem aja."

"Ada yang mau diceritain gak? Hari ini gimana? Di kampus semuanya baik-baik aja kan?"

Ayu yang semula tertunduk merenung menatap kosong kolam renang, mengalihkan pandangannya kepada Dikta, pria itu tersenyum manis menatapnya.

"Aku tadi di marahin dosen karena gak pake baju sesuai sama aturannya dia. Aku bilang aku lupa karena gak ada yang ngingetin. Terus dosennya malah makin marah 'masa harus dipilihin baju yang bener biar kayak anak TK' alhasil semua orang ketawa ngetawain jawaban bodohku."

Ayu tergelak mendengar curhatan Dikta.

"Kan kamu juga ngetawain aku. Jadi sekelas plus kamu dong orang yang ngetawain aku."

"Enggak gak gitu. Gue ngetawain jawaban dosen lo yang bilang kalo lo kayak anak TK. Kayak dari semua perumpamaan kenapa harus milih anak TK kenapa gak anak SD atau SMP aja. Kan jadinya sekarang di otak gue lagi ngebayangin gimana lo pas masih TK."

Dikta terbahak-bahak dengan jawaban nyeleneh Ayu, "Iya aku pas bocah gitu aja sih. Lucu, imut ganteng, ya kayak sekarang ajalah," ucapnya percaya diri.

"Kepedean banget! Anak TK tuh dimana-mana ingusnya kemana-mana, bedak seputih salju, celana kedodoran. Pokoknya gak banget deh!"

KISAH KASIH MASAYU [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang