02. Pertemuan yang Tak Diinginkan

192 102 80
                                    

"Beberapa luka tidak benar-benar sembuh, mereka hanya belajar bersembunyi di balik senyuman."
—Muhi Antarisa

Seorang gadis berambut panjang terbangun dari tidurnya. Ia menarik napas lega saat matanya terbuka, karena hal pertama yang ia lihat adalah plafon kamarnya. Gadis itu kembali menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, berusaha menenangkan dirinya setelah mimpi buruk yang baru saja ia alami—mimpi yang cukup mengerikan hingga membuat dahinya dipenuhi keringat sebesar butiran kerikil.

Dengan cepat, tangannya meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya. Ia menekan tombol, dan layar ponsel itu langsung menyala, menampilkan wallpaper yang sudah lama ia pasang. Nama gadis itu adalah Muhi Antarisa, seorang pecinta hujan dan kenangan.

Matanya terpaku pada gambar di layar—foto sepasang kekasih yang tengah berdiri di taman dekat rumahnya dengan seragam SMA. Foto lama yang diambil sekitar tiga tahun lalu, saat pertama kalinya ia dan Syahrul bertemu kembali setelah sekian lama bersama.

Setelahnya, Muhi melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 02.00 pagi. Entah mengapa, kali ini hujan kembali turun, seolah-olah ikut merasakan kesedihannya. Air mata perlahan mengalir di wajah cantiknya, membawa ingatan tentang sosok pemuda itu—pemuda yang pernah membuatnya bertahan selama dua setengah tahun, hanya untuk dikhianati di akhirnya.

Tangisnya tak kunjung reda. Dengan tangan gemetar, ia membuka laci kecil di samping tempat tidurnya, mengambil beberapa lembar foto lama yang masih ia simpan rapi, meskipun seharusnya sudah ia buang. Rasa rindu dan sakit bercampur dalam hatinya saat jemarinya menyentuh kenangan-kenangan itu.

Dengan cepat, ia membuka aplikasi berwarna hijau—WhatsApp. Hanya untuk sekadar melihat status pria itu, berharap menemukan sedikit jawaban untuk hatinya yang tak kunjung pulih. Namun, saat layar ponselnya menampilkan foto profil Syahrul, Muhi terdiam.

Di sana, pemuda itu terlihat tampan dengan kemeja berwarna biru—warna favorit mereka berdua. Namun, yang lebih menyakitkan adalah sosok gadis lain yang berdiri di sampingnya. Gadis itu tak kalah cantik, dengan pipi gembul yang membuatnya terlihat menggemaskan.

Muhi tercekat. Dadanya sesak. Lagi-lagi, kenangan saat mereka masih bersama melintas jelas di benaknya, tapi sayangnya, kejadian hari itu kembali mengingatkannya pada kenyataan pahit. Ia benar-benar hancur.

H

ari itu, Muhi memutuskan untuk menemui kekasihnya tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Dengan langkah ringan, ia berjalan menuju taman dekat rumah mereka, tempat yang sering menjadi saksi kebersamaan mereka. Di tangannya, beberapa permen lolipop yang ia beli dengan penuh semangat.

"Onta pasti seneng banget aku beliin permen ini," gumamnya sembari tersenyum kecil, hatinya dipenuhi rasa bahagia yang sederhana.

Langkahnya melewati taman kota terasa begitu biasa—hingga matanya menangkap sesuatu.

Seorang pria. Duduk di bangku taman.

Seseorang yang terlalu mirip dengan Syahrul.

Muhi memperlambat langkahnya. Matanya menyipit, mencoba memastikan bahwa pikirannya tidak mempermainkannya. Tapi semakin ia memperhatikan, semakin jelas sosok itu di matanya. Syahrul.

Dan ia tidak sendiri.

Seorang perempuan duduk di sampingnya. Berdekatan. Terlalu dekat.

Badai Kepulangan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang