Amanda menatap Reno penuh emosi. Jika boleh, gadis ini ingin membalik meja yang menghidangkan berbagai menu makanan. Tanpa merasa berdosa, Reno menyeret Amanda menuju restoran untuk menemaninya makan sore. Salahkan Amanda, karena gadis yang tak mengabarinya itu membuat Reno melewati makan siang!
"Kenapa cemberut gitu? Mau?" Reno bertanya sambil menunjuk makanan miliknya di atas meja.
"Nggak!" Jawabnya dengan penuh kesinisan.
Reno menjadi heran sendiri. Mengapa gadisnya merajuk? Reno merasa tidak berbuat kesalahan. Dia kan hanya meminta Amanda untuk menemaninya makan. Reno bahkan menawarkan Amanda makan. Tidak ada alasan bagi Amanda untuk merasa marah padanya.
"Oh, ya udah. Awas nanti kalau ngambek karena nggak dikasih. Kamu kan nggak suka makan sepiring dengan orang lain."
"Berisik!" Tukasnya dengan cepat. "Dasar nggak peka!"
Reno hanya mengangkat bahu tanda acuh. Sebenarnya, ia tahu alasan Amanda kesal karena dipaksa menemaninya, alih-alih pulang ke kontrakan nyaman miliknya. Reno mengabaikannya karena ingin berduaan dengan asisten pribadinya tersebut. Hitung-hitung membayar waktu cuti yang telah Amanda jalani. Masa Amanda tidak senang bersama atasannya sendiri?
Makin dongkol Amanda dibuatnya. Mukanya sudah tertekuk bagaikan cucian kotor. Menurut Reno, jika sudah begini, Amanda tidak dapat lagi diajak berkomunikasi menggunakan bahasa manusia. Alias ngambek, hanya dua cara untuk membujuknya; belanja dan makan. Namun sepertinya dua hal tersebut tak lagi mempan. Sebaiknya Reno diam saja mencari aman.
Amanda hanya mampu menyabarkan diri. Menumpukan wajah pada meja, menunggu bos kampretnya selesai makan. Sampai beberapa saat berlalu, dering ponsel membubarkan keheningan. Mata Amanda membulat melihat nama yang terpampang. Ingin melangkah pergi untuk mengangkat panggilan, namun tangan Reno menahan kepergiannya. Gadis itu terdiam. Jika sang ibu sudah menelpon, pasti hanya meminta gaji atau memarahinya saja. Ia tidak ingin Reno tahu keburukan keluarganya.
Pada akhirnya, Amanda mengangkat panggilan tersebut setelah lama ia biarkan saja.
"Halo—"
"Lama banget, sih! Sengaja ya, nggak mau ngangkat telepon dari Ibu sendiri. Udah sombong sekarang? Mentang-mentang kerja di kota, iya?"
"Ada apa, Buk?" Potongnya. Tak tahan mendengar omelan dari sang ibu.
"Cepat kirim uang. Ibuk butuh buat keperluan bapak sama adikmu! Kirim uang dikit banget."
Amanda mengernyit heran. Ingin sekali protes kepada sang ibu. Namun ia sangsi, takut menjadi anak yang durhaka. Sedikit katanya? Memangnya sang ibu mau minta berapa banyak? Sampai uangnya habis tak tersisa?
"Aku kan sudah ngirim uang bulan ini. Uang bulanan Lana juga udah aku kirim, Buk."
"HALAH! GITU YA KAMU! NGGAK TAU TERIMA KASIH. KALAU BUKAN IBUK YANG RAWAT DARI KECIL DAN BAYARIN KULIAH. JADI APA KAMU SEKARANG HAH? MASIH UNTUNG KAMU INI ADA ORANG TUA LENGKAP. MALAH DURHAKA SAMA ORANG TUA."
Amanda tentu terkejut mendengar bentakan dari sang ibu. Tak mengapa jika sendirian, masalahnya ada Reno di sini. Sekuat tenaga Amanda menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Ya Tuhan, kenapa tidak ada satu hari saja hidupnya menjadi tenang?
"Buk, Amanda kan udah ngirim total uang yang ibu keluarin pas ngurus aku dulu. Dari kecil aku hidup sama nenek. Kenapa Ibu ngomong seolah udah ngerawat aku. Bahkan uang kuliah aja aku kerja, Buk. Kalau aku nggak nekat, mana mungkin aku pergi dari rumah. Dari dulu Ibuk selalu bilang sekolah gak penting, karena aku beban keluarga. Padahal aku dari kecil sama nenek! Ibu pulang karena mau nempatin rumah nenek yang udah meninggal. Dari dulu Ibuk cuma nyalahin aku aja. Emangnya salah aku apa, Buk?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVEHOLIC [Tamat]
ChickLitMenjadi kekasih dari Bos super menyebalkan, tidak pernah ada di dalam daftar tugas yang harus Amanda kerjakan.