Hari sibuk terus dialami pegawai, tak terkecuali oleh Amanda. Rencananya, hari ini dua perusahaan akan mengajukan proposal bisnis kepada investor. Dua perusahaan seakan bertanding, sebab mereka bergerak di bidang yang sama. Tidak mau kalah satu sama lain.
Pekerja di kantor Amanda begitu percaya diri. Karena proposal yang mereka kerjakan, terasa bagus. Yakin bahwa ide yang mereka cetuskan akan dilirik oleh para investor.
Hanya perwakilan saja yang ikut menemui investor. Termasuk Amanda sebagai asisten pribadi, tentu saja. Wanita itu merasa seperti tengan berada di dalam audisi. Detak jantungnya terpacu cepat.
Semua perwakilan dari perusahaan Amanda terkejut, tatkala sang rival mempresentasikan proposal yang sama persis dengan milik mereka. Tidak ada satu pun perbedaan. Membuat mereka semua terdiam. Ada raut terkejut bercampur kecewa. Amanda tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Firasatnya merasakan hal yang buruk.
Lebih mengejutkan lagi. Setelah perusahaan rival itu berhasil menggaet para investor, sang pemimpin memghampiri Amanda. Pria yang bahkan tidak wanita itu ketahui namanya tersebut, menjawil dagu Amanda.
"Makasih ya, Amanda. Bahan proposalnya bagus banget. Nanti malam kita main lagi."
Tentu semua orang memandang Amanda, tak terkecuali dengan Reno. Ada amarah di tatapan tersebut. Tubuh Amanda seketika menegang. Tidak berani membalas tatapan dari Reno. Karena ia tahu bahwa karirnya akan berakhir.
"Pak, saya nggak ngelakuin itu semua. Bapak percaya kan sama saya?"
Amanda berujar di depan tubuh Reno. Namun pria itu menghempaskan tangan milik wanita tersebut. Meninggalkan Amanda yang mulai menipiskan bibir.
***
Selepas gagalnya kesepakatan bisnis yang didapat, sebagian pegawai terdengar mengumpat.
Amanda sendiri sejak tadi hanya menunduk. Semenjak selesai acara menenangkan tadi, ia diperintah untuk menemui atasan. Sontak saja tangan wanita itu terasa dingin, saking takutnya.
"Apa maksud kamu, Amanda?" Tanya salah satu dari beberapa petinggi perusahaan.
"Bukan saya, Pak. Saya benar-benar nggak tau apa-apa."
"JANGAN BOHONG KAMU!" Pria itu menunjukkan satu bukti bahwa pengirim e-mail tersebut adalah Amanda. "Apa ini, hah? Begini cara kamu berterima kasih kepada perusahaan?"
Amanda menatap nanar bukti tersebut. Memang nama surel itu adalah namanya. Tapi jelas bukan dirinya yang membocorkan data. Kalaupun benar, sebodoh apa sampai ia mengirim melalui komputer kantor? Bahkan dengan nama yang segamblang itu. Mengapa para atasan itu tidak mencari bukti terlebih dahulu, alih-alih menuduhnya. Apalagi, di situ terlihat bahwa bukti di dapat dari salah satu laptop di divisi pemasaran. Mengapa tidak diselidiki para pegawainya? Meski Amanda tahu jelas siapa pelakunya.
"Tapi saya beneran nggak ngirim bocoran data, Pak. Kenapa Bapak—"
"HALAH! Mulai sekarang, kamu dipecat! Orang kayak kamu dapat membahayakan perusahaan."
Tangan Amanda bergetar begitu hebat. Takut untuk membela diri. Memang mau bagaimana lagi? Semua sudah jelas, bukan? Wanita itu lantas pergi dengan kepala yang tertunduk.
Di sepanjang jalan, banyak pekerja yang berbisik-bisik. Mereka memaki Amanda. Seolah wanita itu pelaku kriminal. Mengerikan, membuat kenangan buruknya kembali berulang. Dipojokkan atas tuduhan yang tidak ia lakukan. Sementara dirinya tetap lemah untuk sekadar berjalan tegap. Amanda benci, benci sekali.
"Nggak nyangka, ternyata beneran simpenan orang."
"Dibayar berapa, ya. Sampai berani bocorin data perusahaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVEHOLIC [Tamat]
ChickLitMenjadi kekasih dari Bos super menyebalkan, tidak pernah ada di dalam daftar tugas yang harus Amanda kerjakan.