EL-2.1

1.5K 114 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


🖤🖤🖤


Mata hitamnya melirik ke arah jendela. Lagi-lagi, ia sedang mengawasi halaman restoran untuk melihat sosok yang sedang ia tunggu. Anak laki-laki itu kembali menunduk sambil memperhatikan kedua kakinya. Ia menggerakkannya pelan untuk mengusir rasa bosannya.

Remaja yang menemaninya memandang kearah adik bungsunya. "Sebentar lagi, Ayah dan Ibu datang."

Mata hitam yang bersinar polos itu melirik saudaranya. Ia hanya memandang lalu kembali menoleh kearah jendela. Tatapannya berbinar ceria saat melihat mobil yang ia kenali memasuki halaman restoran. Remaja di depannya tersenyum memandang adik bungsunya lalu melambaikan tangan pada dua sosok yang berada di dalam mobil.

Mobil itu berhenti di parkiran restoran. Keduanya beradu pandang dengan putra sulung mereka yang duduk di dekat jendela bersama adiknya. Senyuman terlukis di bibir keduanya dan mereka bersiap untuk keluar dari mobil.

Decitan kursi terdengar dan suara berisik yang begitu cepat memecah keheningan. Mereka menoleh cepat kearah kursi yang baru saja perempuan itu tinggalkan.


Trit trit trit trit trit trit trit--


Mata keduanya melebar. Detik berikutnya, suara ledakan terdengar dari mobil tersebut.


DUAARR!


Suara teriakan bersautan dan sebagian kaca restoran pecah. Beberapa mobil terkena dampak dari ledakan. Suasana menjadi kacau. Begitu juga dengan kedua putra mereka yang menyaksikan semua kejadian tersebut sebelum melindungi diri dari pecahan kaca restoran.

Anak laki-laki itu mematung dalam posisi jatuhnya. Telinganya berdenging dan tatapannya tiba-tiba terasa kabur. Hanya suara degup jantungnya yang ia dengar, semakin lama semakin keras. Ia berusaha menguasai diri, mengabaikan teriakan saudaranya yang berusaha menyadarkannya. Suara teriakan saudaranya tidak terdengar dan ia tenggelam dalam pemikirannya. Ia menoleh dan memandang kearah jendela yang rusak, dimana terdapat kobaran api di luar sana dan asap terlihat menghiasi langit biru.

Dunianya runtuh saat menyadari apa yang baru saja terjadi.

.

.

.

.

.

Langit biru berubah menjadi senja, seusai senja menjadi sendu, memintal rindu hingga menyesali waktu. Rasa pedih mencengkeram hati hingga berpikir ini adalah akhir dari dunia.

Kehilangan mereka yang berharga selalu menimbulkan luka yang mendalam.

Suasana duka menyelimuti perasaan semua orang. Para pasukan polisi itu berbaris rapi di sana pada siang hari ini. Mereka mengenakan pakaian dinas resmi mereka untuk upacara pemakaman anggota yang pergi meninggalkan mereka. Sebuah bingkai foto dibawa oleh satu anggota polisi terdepan. Orang-orang berpakaian serba hitam begitu berduka.

Pria itu merangkul bahu saudaranya, saling menguatkan dalam keheningan. Saudaranya hanya tertunduk sambil memandang batu nisan di depan mereka. Mereka memberikan bunga di dekat batu nisan tersebut. Satu per satu orang meninggalkan tempat tersebut, hingga hanya tersisa beberapa orang yang masih memilih untuk berdiam diri di sana.

Hembusan angin menerpa wajah dinginnya membuat beberapa helaian rambut hitamnya tertiup angin lembut. Matanya sudah tidak sanggup untuk mengeluarkan air mata. Ia hanya memandang hampa pada batu nisan di depannya.

Peristiwa yang terjadi di pusat kota Gifu melenyapkan nyawa beberapa korban dan menjadi berita hangat beberapa hari ini. Sebuah bom waktu terpasang di bawah tempat duduk sebuah mobil dan meledak hingga merusak sekitar lokasi kejadian.

Orang tuanya berada di dalam mobil tersebut. Tidak ada apapun yang tersisa di dalam mobil selain besi-besi yang rusak dan terbakar. Semua lenyap begitu saja. Ia bahkan belum sempat memeluk tubuh keduanya.

Kepalan tangannya menguat dengan tatapan hampa yang memandang dua batu nisan yang dipenuhi bunga hingga tepukan pelan dari saudaranya terasa untuk menenangkan perasaannya.

Hampa.

Mati rasa.

Semuanya terasa tidak sama lagi.

.

.

.

.

.

Mereka memantapkan diri untuk pergi ke luar kota dan meninggalkan rumah mereka yang memiliki banyak kenangan. Mereka harus menemukan kehidupan yang lebih baik dikala mereka harus hidup mandiri setelah apa yang terjadi. Merantau ke kota besar adalah pilihan mereka setelah mempertimbangkan banyak hal. Setelah mengurus keperluan dan administrasi untuk pindah sekolah, mereka memutuskan untuk pergi ke Tokyo.

Tas ransel berada di pundak mereka dengan satu tas lainnya berada digenggaman mereka. Kepala Sasuke tertunduk membuat Itachi terus memandang hal itu selama perjalanan mereka. Itachi merangkul Sasuke, memberinya semangat agar tidak merasa kecewa dengan perlakuan yang mereka dapatkan. Sasuke memandang Itachi cukup lama, lalu kembali menunduk dengan ekspresi dinginnya.

"Aniki." bisik Sasuke.

Itachi melirik saudaranya. "Kenapa?"

"Kita tidak melakukan kejahatan apapun."

"Ya, kau benar."

"Apakah kehidupan kita berakhir?"

"Kau mencemaskan masa depanmu?"

"Aku hanya merindukan Ayah dan Ibu..."

Ucapan lirihnya membuat Itachi terdiam. Ia mengeratkan rangkulannya pada Sasuke yang masih tertunduk dan termenung. Itachi memandang lurus, kembali merasakan kepedihan di dalam hatinya. Ia pun berbisik sambil mengenang masa lalu.

"Aku juga merindukan mereka."

Raga yang tidak bisa dipeluk, senyuman yang tidak bisa dilihat lagi. Cahaya yang dipenuhi kehangatan sudah kembali ke dalam genggaman-Nya, meninggalkan harum yang melekat didalam jiwa dan pikiran. Entah cahaya itu dijemput secara damai, secara paksa, atau terjadi karena malapetaka. Perih mencengkeram dengan harapan waktu mampu memulihkan luka pada jiwa yang bersedih.

Rindu yang paling menyakitkan adalah merindukan orang tercinta yang telah pergi meninggalkan dunia ini.

EL-2 [ SasuSaku ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang