Minho dan Felix berjalan beriringan menuju taman rumah sakit, untuk sekedar mencari udara segar. Menemukan sebuah bangku panjang bewarna putih yang kosong, keduanya sepakat untuk duduk di sana.
"terima kasih Felix-ssi"
Minho membuka percakapan, tanpa mengalihkan pandangannya pada kolam buatan milik rumah sakit. Sejujurnya ia malu untuk hanya sekedar mengucapkan kata itu, tetapi melihat bagaimana neneknya yang begitu antusias saat bertemu Felix, tanpa mengetahui siapa sebenarnya Felix itu, tanpa melihat seberapa tenar yang Minho sebut sebagai teman itu. Lalu bagaimana Felix memperlakukan neneknya dengan sangat baik, kedua tangan mungilnya tak pernah melepaskan genggaman pada tangan keriput nenek Minho, sembari keduanya bercerita tentang apapun. Felix juga tak sungkan mendengarkan cerita panjang lebar nenek Minho, tentang bagaimana nakalnya Minho saat kecil karena hanya neneknya lah yang merawat Minho selepas kematian kedua orang tuanya karena bunuh diri.
Minho merasa diabaikan oleh 2 orang itu selama hampir 2 jam, hanya sanggup mengamati interaksi keduanya dari sudut ruang inap, tanpa bisa menyela, atau dirinya akan mendapatkan hardikan dari neneknya karena menyela orang tua atau sekedar mendapatkan tatapan tak suka dari Felix karena merasa terganggu oleh ocehan Minho yang ingin berpamitan. Minho jadi sebal, sebenarnya siapa yang jadi cucunya?
Felix hanya tersenyum kecil, "sama-sama, terima kasih juga sudah mengajakku Hyung, semoga nenek lekas sehat kembali" balas Felix, kemudian keduanya terdiam dengan pikirannya masing-masing.
Tak berapa lama ponsel Felix berdering, dengan segera Felix merogoh saku dalam mantelnya, melihat ID penelfon, lalu dengan malas Felix menerima panggilan itu.
"halo Channie Hyung?"
....
"Hhmm.. aku akan segera pulang"
...
"yaak.. aku bisa pulang sendiri.."
...
"tak perlu Hyung, aku akan langsung pulang ke apartemen, lagipula aku sekarang bersama dengan Min--hmmmffpptt"
"Felix? kau bersama siapa sekarang"
Samar suara Bangchan di seberang line, sementara Felix yang tak dapat melanjutkan kalimatnya, mulutnya dibekap kencang oleh Minho. Felix yang paham segera mengangguk berusaha melepaskan bekapan di mulutnya.
"aku sedang bersama teman, aku akan segera pulang Hyung, jangan khawatir. Aku akan menghubungimu sesampainya di rumah, bye!" Felix menutup sepihak panggilan itu.
"kau gila Felix-ssi, aku tidak mau dibunuh manajermu kalau sampai dia tahu artisnya sedang bersama orang biasa, apalagi aku staff di tempatmu syuting!"
"maafkan aku Hyung, aku tidak terbiasa berbohong dengan Chan Hyung" Felix hanya meringis.
Minho mengurut pelipisnya yang tiba-tiba nyeri, dirinya sudah cukup pusing dengan tingkah laku Felix hari ini.
"sekarang kita akan kemana?" tanya Minho, entah kenapa ia jadi begitu mendalami 'pekerjaan' menemani Felix
"antarkan aku pulang ke apartemenku Hyung" Felix menjawab cepat sembari memasang wajah memelas yang dibuat-buat.
Astaga, pening kembali melanda Minho, kali ini dua kali lipat.
.
.
Perjalanan dari rumah sakit ke apartemen Felix harus menggunakan kereta cepat. Felix berhasil meyakinkan Minho untuk bersedia mengantarnya pulang dengan pertimbangan syuting besok ditiadakan karena ada kendala teknis. Bak pucuk ulam pun tiba, keinginan Felix untuk mengajak Minho ke apartemennya dapat terkabul. Kini tak ada alasan bagi Minho untuk menolak. Felix bahagia bukan kepalang.
Senyum lebar itu tak luntur dari wajah manis Felix sepanjang perjalanan di dalam kereta, berbanding terbalik dengan Minho yang memasang wajah masam seperti jeruk lemon. Bagaimana bisa ia akhirnya duduk pasrah tanpa penolakan yang berarti. Minho kalah dengan ancaman dari Felix.
"bagaimana kalau di perjalanan aku bertemu dengan wartawan? atau dengan orang jahat? atau tiba-tiba ada yang mengenaliku, kau tega Hyung? project film juga belum selesai, kalau aku mati, gajimu tidak akan terbayarkan, maka biaya rumah sakit nenek juga tidak bisa terlunasi"
Begitulah ceritanya akhirnya Minho mengalah untuk menuruti keinginan Felix. Takut juga jika sampai terjadi hal yang tidak-tidak.
.
.
Felix menekan sandi kunci pintu apartemennya, tak khawatir jika saja Minho mengintip. Felix tak perduli. Sebuah kombinasi angka yang Minho sendiri sudah lupa susunannya karena ia hanya tak sengaja melihatnya sekilas.
"silahkan masuk Hyung, ah biar aku simpankan mantelmu" Felix membantu Minho melepaskan mantel coklat miliknya, lalu menggantungnya di dalam lemari besar yang berada di ruang tengah. Seperti dugaan Minho, apartemen orang kaya memang di luar levelnya. Luasnya mungkin 5 kali lipat flat miliknya, atau bahkan lebih.
"kau mau minum? aku punya beberapa jenis vodca, susu, coklat, dan.. ah kalau kopi aku tidak punya karena aku--"
"tidak suka kopi" sambung Minho
Felix memiringkan kepalanya bingung, darimana Minho tahu
"aku yang menyiapkan minuman untukmu selama syuting, jadi jangan heran dari mana aku tahu" Minho menjelaskan tanpa diminta. Pantas saja, di flat Minho kemarin, Felix disuguhkan coklat panas.
"aku mau soda, boleh?" pinta Minho
Felix mengangguk, mempersilahkan Minho untuk duduk dan bergegas menuju kulkas besarnya dan mengambil dua kaleng soda, membuka keduanya dan menuangkan ke dalam gelas bening. Menoleh ke arah Minho yang duduk membelakanginya, Felix merogoh saku celananya, mengambil sebuah botol kecil dan menuangkan isinya ke salah satu gelas soda.
"ini Hyung" Felix mengulurkan gelas yang sudah berisikan soda. Minho mendongak, sedikit heran mengapa Felix harus repot-repot menuangkan soda ke dalam gelas. Tapi Minho masa bodoh, ia sudah cukup haus. Menegak dalam beberapa tegukan besar, soda itu habis tak tersisa.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Heaven [HIATUS]
Romance"Jika kau ingin merasakan surga tanpa harus mati, datanglah pada Felix" Minho dan Hyunjin sepakat akan hal itu Warning : pendek tiap Chapternya, alur cerita lambat