ii

494 60 3
                                    

"Benji! Kemari sebentar!"

Bukan pasar tradisional namanya kalo nggak ada orang teriak-teriak sampe keluar urat. Entah di Indonesia aja atau di luar juga sama, Benji pun nggak tau. Yang pasti dia beranggapan kalo larisnya dagangan sedikit-banyaknya dipengaruhi oleh teriakan pedagang.

"Sayur segar! Sayur segar! Datang langsung dari Sukabumi! Mau tomat? Ada. Cabe keriting? Rawit? Ada. Mau bikin cah kangkung? Capcay? Kembang kol, wortel, kentang, buncis, pakcoy, semua ada! Mampir sebentar Ibu-ibu!" Template pedagang pasar pemirsahh..

"Bawang putih sekilonya berapa, Bang?"

"55.000 saja."

"Mahal amat?"

"Nggak mahal itu, harga pasarannya memang segitu. Cobak lah Ibu tanya sama yang lain, mereka jualnya juga 55. Bawang-bawangan kita ambilnya dari Wonosobo, Bu. Petani bawang di Cianjur musim ini banyak yang gagal panen. Atau Ibu mau yang lebih murah boleh ambil sisa 3 bulan lalu, saya jual 35 sekilo."

Cukup panjang cowok itu ngasih penjelasan ke pelanggannya. Diliat-liat sih udah terlatih banget, walaupun jadi yang termuda di sana tapi kemampuannya dalam menarik pelanggan bisa di adu sama yang jauh lebih berpengalaman.

"Nggak deh, Bang. Saya ambil yang segar aja."

"Siap, Bu. Yang segar-segar memang lebih menggoda." Balasnya ambigu.

Nggak butuh waktu lama untuk Benji selesaikan proses jual-beli dengan pelanggannya. Selanjutnya ya teriak-teriak lagi. Gitu-gitu terus sampai dia bosan sendiri terus curi-curi kesempatan buat ngopi.

"Benji woi!! Sibuk kali? Awak panggil-panggil nggak dengar pula kau rupanya." Seseorang datang menginterupsi kegiatan bersantai Benji.

"Kenapa Bang? Mau jemput si Naya lagi?" Selidik Benji. Soalnya dia kerap dimintai tolong untuk jaga dagangan pas laki-laki paruh baya di depannya melipir ke tempat lain.

"Bukan! Si Sri tadi telepon suruh kau antar pesanan kemaren."

"Bah! Buru-buru kali?"

"Buru-buru pala Bapak kau. Cemananya? Cobak lah kau tengok jam berapa sekarang."

Di singgung perihal waktu barulah Benji sadar dia belum ngecek jam sejak tiba tadi pagi. Jam di pergelangan tangan berasa nggak guna. Omong-omong jam 6 pagi tadi dia baru sampe ke Jakarta dari Sukabumi, langsung jualan, bukan main memang. Nggak peduli bau badan udah nyengat yang penting cepat balik modal.

"Jagain bentar ya Bang. Nanti awak bawain es dawet." Kocar-kacir Benji nutupin barang-barang dagangannya pake kain terpal, dengan kekuatan penuh angkat kardus besar yang dia simpan di bawah meja, terus lari kencang ke arah Utara— di mana mobil pikapnya terparkir menantang matahari.

———

Tinnnn... Tiiinnn!!

Siapa sih yang nggak kesal dengar suara klakson yang sengaja ditekan berulang-ulang? Siang bolong begini segala bentuk keributan maunya dipending dulu, burung-burung aja milih bertandang di atas pohon timbang terbang ke sana kemari nyari makan, manusia yang katanya berakal kok malah ganggu waktu istirahat sesama manusia?

Tiiiinn... Tiiiinn!!

"Berisik! Mau apa ente?!" Laki-laki berseragam security itu melangkah keluar dari pos penjagaan. Langkahnya yang lebar macam mau nyiduk pasangan mesum.

"Buka dulu portalnya, Bos! Saya mau lewat!"

"Lu siape? Orang miskin ngapain di mari?"

"Yaelah, sama-sama miskin juga?"

Jawaban Benji malah bikin si security ketawa kencang. Tuh orang lagi banyak pikiran kayaknya. Tadi marah-marah, belum ada 5 menit udah ketawa, gimana Benji nggak mikir yang aneh-aneh?

Hold fast to loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang