Bab 3

313 50 6
                                    

Pagi itu Ara udah siap-siap mau ke kampus saat Papanya lagi nyiram tanaman hias di halaman rumah. Pria paruh baya yang masih gagah itu benarin letak kacamatanya, scanning Ara dari ujung kaki sampe ujung rambut. Keningnya berlipat, macam lihat hantu di siang bolong. "Papa lihat Adek suka sekali bersolek akhir-akhir ini. Udah punya pacar?" Selidiknya.

Dengar pertanyaan itu Ara sontak salah tingkah. Dalam hati mengaminkan ucapan si Papa. Tapi kalimat pertama Papa ada benarnya juga, Ara emang berubah jauh lebih feminim sejak dekat sama Benji. "Ikut tren doang, kok." Kilah gadis itu.

"Ya kalau memang punya pacar juga ndak masalah. Yang penting kenalin orangnya ke Papa, biar Papa nilai sendiri bibit bebet bobotnya."

Sebenarnya Papa nggak bermaksud nyindir tapi Ara justru tersindir sampe ke tulang-tulang. Cewek itu juga merasa dejavu ke masa dia diam-diam ambil jurusan kuliah yang bertentangan sama kemauan keluarganya. Dulu sih berhasil, entah kalo sekarang.

"Ara duluan ya, Pa!"

"Loh, kenapa ndak bawa mobil? Tangan Adek masih sakit?" Ekspresi Papa berubah khawatir.

"Nggak, kok! Ara lagi males nyetir aja." Terang Ara.

"Terus sekarang naik apa."

"Naik ojol. Hehe."

Senyum cerah Ara bikin Papa kembali telan semua pertanyaan yang hendak dilontarkan. Biarin deh, lagi bahagia gitu nggak usah diusik, takutnya bete gara-gara dibawelin. Walaupun sebenarnya Papa terheran-heran dengan kebiasaan baru putrinya yang lebih merakyat. Kira-kira jalata mana yang udah pengaruhi Ara sampe segininya?

"Dah, Papap!" Gadis itu berseru setelah cium pipi kanan Papanya. Lari-lari kecil lewati pintu pagar, terus tengok kiri tengok kanan sebelum jalan ke seberang. Yang lebih tua geleng-geleng kepala, tampilan anak kuliahan banget, tapi kelakuan masih aja macam anak SD.

Ara betulan naik ojol lho ya, jam segini Benji lagi sibuk dagang sayur di pasar, nggak bakal mau dia anterin Ara ke kampus. Lagian Benji juga udah bilang bakal kerja double minggu ini, soalnya penghasilan minggu lalu habis di bawa main ke PI sama Ara.

Tanpa sadar Ara hembuskan napas kasar. Bicara soal Benji, semalam Ara cekcok dikit sama cowok itu. Sejak dekat mereka emang nggak pernah absen ngobrol di malam hari. Mau Benji masih sibuk jaga konter, udah balik ke kontrakan, atau lagi antri nasi goreng pinggir jalan, cowok itu nggak pernah lupa hubungi Ara lewat sambungan telpon. Benji pernah bilang dia merasa senang ngobrol di telpon sama Ara, rasa capeknya seketika hilang seolah-olah suara Ara mengandung mantra yang bisa kembalikan energinya.

Lalu apa yang buat pasangan tanpa status itu cekcok? Jadi gini, ternyata diam-diam Ara selipin duit lima ratus ribu di saku celana jeans yang dipake Benji. Ara nggak ngaku tapi Benji yakin duit itu Ara yang simpan. Soalnya terakhir Benji pake jeans belel itu ya pas mereka main ke PI. Benji nggak suka, jelas-jelas dia udah tegasin ke Ara kalo jalan sama dia nggak ada istilah patungan.

Benji juga kerja lho, penghasilannya emang nggak seberapa tapi sejauh ini dia nggak pernah kesulitan makan, kan? Tindakan Ara nggak lebih dari kasihan, dan Benji nggak suka itu.

Benji marah, dan fakta itulah yang dalangi Ara untuk skip kuliah dan pergi temui Benji di tempat cowok itu mengais rejeki. Bulol kalo kata anak-anak jaman sekarang. Ini kalo ketahuan Papanya, duh, bakal dicincang tuh si Ara.

"Kembaliannya buat Abang aja."

"Serius, Neng? Masih banyak ini sisanya."

"Gapapa, buat nanti Abang makan siang." Ucap Ara sambil lalu, senyum tersungging di bibir, pun jempol teracung tinggi, luar biasa untuk sekelas anak pejabat yang seumur hidup hampir nggak pernah napak tanah.

Hold fast to loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang