Bab 21

328 54 21
                                    

Kelopak mata Ara pelan-pelan terbuka menyusul kesadaran yang kembali terkumpul. Bibir keringnya bergerak mengucap satu kata tanpa suara, satu kata yang dialamatkan pada laki-laki muda di sudut kamar. Ara tebak laki-laki itu seorang cleaning service yang lagi bertugas. Soalnya dia tampak sibuk bersihin kolong meja di sudut ruang rawat inap yang ditempati Ara.

"Mi-minum..." Meski lirih, setidaknya suara Ara berhasil menginterupsi si cleaning service.

"Kakak sudah bangun? Sebentar saya panggilkan perawat."

"Minum." Ulang Ara. Dia butuh air, bukan perawat.

"Oh, air ya?"

Sebotol air mineral praktis dijangkau terus diserahin ke Ara. Kebetulan jarak mereka nggak begitu jauh karna ruang rawat inap itu emang lumayan sempit. Fasilitasnya juga ala kadarnya, cuma satu ranjang pasien, loker kecil, kamar mandi kecil, meja nakas, satu kursi khusus pendamping, sama kipas angin. Nggak ada TV apalagi AC. Mesti bukan keluarganya yang bawa Ara kesini.

Walau begitu Ara merasa lega sebab keluarganya nggak tahu menahu tentang kondisinya saat ini. Kalaupun tahu belum tentu juga mereka peduli, kan? Toh, Ara lagi dimusuhin.

"Udah bangun?"

Suara itu... suara seseorang yang bikin Ara hampir gila, seseorang yang bikin hidup Ara jungkir balik kayak sekarang. Gimana bisa?

"Masih sakit sayang kepalanya?"

Ara tercengang, masih coba memproses apa yang udah dia lewati. Bukannya Benji udah pulang ke Binjai ya? Terus kenapa tiba-tiba keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah dan badan wangi sabun Lifebuoy merah? Apa jangan-jangan Ara udah gila karna saking kangennya sama sang pacar?

"Ini betulan Abang, pacar Ara. Bukan setan." Ujar Benji. "Seng, udah selesai, kan? Sana keluar, urusan rumah tangga orang luar nggak boleh lihat." Perkataannya barusan ditujukan pada si cleaning service yang rupanya belum beranjak keluar.

"Jan buat mesum di sini, bang. Ada CCTV-nya, bahaya."

"Kimak, kau tengok cemana kondisi cewek awak. Waras kau rupanya?"

"Hehe, bercanda. Galak kali lah Abang ini." Abis ngomong gitu si cs langsung melenggang keluar dari ruang inap Ara, menyisakan Benji dan tentunya Ara yang masih terbaring lemah di atas ranjang.

"Bodat kau." Seru Benji sebelum si cs benar-benar hilang dari radarnya.

Satu hal tentang Benji, cowok itu gampang banget akrab sama orang yang baru dia temui. Social butterfly kalo kata orang-orang jaman kini.

"Ara."

"Hiks." Bibir Ara bergetar nahan ledakan tangis, pun airmata udah berlomba-lomba turun dan basahi pipinya yang pucat pasi. Singkatnya, Ara menangis dalam diam.

"Maaf."

Cuma satu kata tapi berhasil runtuhkan pertahanan Ara. Tangis cewek itu seketika pecah. Dia marah, tapi juga lega di waktu yang bersamaan. Setelah bermasalah sama keluarganya, dia cuma punya Benji sebagai tempat pulang, kalo Benji nggak ada, lantas dia pulang ke mana? Hal itulah yang buat Ara pingsan semalam.

"Jahat! Abang jahat! Abang nggak sayang Ara!!"

"Hei hei sayang, tenang! Boleh pukul Abang tapi nanti, sekarang harus banyak-banyak istirahat biar cepat sembuh." Benji menahan tangan Ara yang dipasangin jarum infus, bahaya banget soalnya. Dia sih nggak masalah dipukulin habis-habisan sama Ara, deserve kok, justru aneh kalo Ara cuma diam aja.

"Biarin! Ara mati pun Abang nggak bakal-- hiksss peduli!"

"Kata siapa."

"Abang jahat!! Jahat jahat jahat!!! Huaaaa..."

Hold fast to loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang