Bab 8

435 48 5
                                    

"Oleh-olehnya jangan lupa, Pa. Kalo lupa nanti nggak Ara bukain pintu. Tidur aja di pendopo."

"Papa yang punya rumah kok kamu yang ngatur? Kamarmu saja yang Papa pindahkan ke pendopo bagaimana?"

Guyonan Ara dibalas ancaman sama Papanya. Lagian nggak sadar diri, hidup masih numpang orangtua kok bisa-bisanya berlagak macam dia yang punya aset. Masih mending punya pacar kaya raya biar ada senjata buat counter attack. Lah ini? Pacar aja kaum proletar, punya apa si Benji itu memangnya?

"Ck. Nggak bisa banget dibecandain." Gerutu Ara. Bibirnya mencebik kesal, gagal mancing humor Papanya.

"Hm, minta oleh-olehnya juga bercanda berarti?"

Ara yang lagi berbaring di atas karpet sontak bangun terus duduk tegak. Yang lebih tua duduk nyaman di atas sofa sambil baca koran online yang tertera di layar ipad. "Kalo yang itu Ara serius! Ara betulan minta oleh-oleh." Seru gadis itu.

Sejenak Papa perhatiin raut wajah anak gadisnya, mastiin kalo Ara nggak cuma becanda. Papa tuh tahu banget gimana Ara, yang mana selama ini nggak ada yang begitu disukai gadis itu lebih dari semua jenis makanan dari olahan kentang. Terus, masa iya dikasih oleh-oleh keripik kentang khas Swiss?

Dulu sih waktu remaja Ara suka banget bandana, kalo sekarang dibeliin bandana satu rumah bakal diomelin. Kayak bocil katanya. Barang branded? Well, Papa selalu vokal pengen Ara nggak ngikutin gaya hidup elit ibukota. Nggak heran kenapa penampilan Ara terkesan biasa aja untuk sekelas anak orang kaya.

"Memang adek mau dibawain apa?" Tanya Papa setelah puas menyelidik. Penasaran juga sama permintaan Ara, soalnya jarang-jarang Ara minta dibawain oleh-oleh, padahal setelah menjabat jadi menteri si Papa hampir tiap bulan ke luar negeri.

"Ya terserah Papa. Yang penting pulang nggak tangan kosong."

Tuh, kan? Emang nggak pengen apa-apa dia tuh.

"Yang spesifik coba mintanya." Desak Papa.

"Mana Ara tau di Swiss ada apa? Soalnya Papa nggak pernah bawa Ara ke sana. Jangankan ke Swiss, ke Jepang yang lebih dekat aja nggak pernah." Malah nyindir.

Dipikir-pikir emang pantes Ara sebel karna nggak pernah diajak kemana-mana sama Papanya. Dari dulu Arbe terus yang diajak, apa-apa selalu Arbe. Si bontot ikut serta cuma pas libur natal dan tahun baru doang, itupun mentok di Sydney, atau nggak ya pulang ke kampung halaman di Ambon sana. Kasihan amat? Belum nanti kalo betulan nikah sama si Benji, makin makin kasihan hidupnya.

"Minimal punya gelar dokter kalau mau Papa bawa."

Skak! Ara seketika ngulum bibirnya. Nggak jadi ngomel dia. Lagian siapa suruh jadi impostor dalam keluarga ya kan?

"Kenapa diam, ndak bisa jawab?" Ledek Papa.

"Nggak tau. Males."

Papa geleng-geleng kepala lihat putrinya guling-guling di atas karpet. Riri yang kucing aja nggak sampe segitunya, malah anteng banget main sama mainan-mainannya.

"Papa, ayo."

Mama tiba-tiba nongol sambil nyeret satu koper keluar dari kamar. Nggak lama setelahnya Arbe juga ikut nongol dari lantai dua, bawa koper juga, terus di balik punggung cowok itu ada istrinya Wulan yang lagi rapi-rapiin belakang kemeja sang suami.

"Sudah siap semua? Dokumen penting simpan di tas kabin. Jangan masuk koper." Ucap Papa.

"Beres, Pa." Sambut Arbe.

Semua orang tampak sibuk. Mbak Sri juga dari tadi mondar-mandir ngumpulin semua barang keperluan Tuan dan Nyonya besar buat dipacking. Sementara keperluan Arbe diurus Wulan. Ara doang yang nggak ngapa-ngapain.

Hold fast to loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang