Kejadian pagi ini berujung pada situasi yang buat gempar sejagat bumi ibu pertiwi. Gimana nggak gempar? Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba puluhan bahkan ratusan media elektronik berlomba-lomba ngeluarin berita tentang pak menkes yang tengah sekarat di luar negeri. Ishak Effendy terbaring nggak sadarkan diri akibat tekanan darah mencapai level yang sangat tinggi. Begitu kira-kira headline beritanya.
Singkatnya, Papa sedang kritis.
Keluarga besar Manuhutu tahu Papa punya penyakit darah tinggi yang bisa kambuh kapan aja dan di mana aja, tapi siapa sangka penyakit mematikan itu bakalan kambuh di saat mereka lagi asik-asiknya sarapan di negara yang terkenal dengan tingkat stres rendah.
Semua orang panik, lebih-lebih Ara yang jadi sumber utama kambuhnya penyakit Papanya. Ara bahkan kepikiran buat gantung diri kalo kondisi Papa lebih buruk dari ini. Memang apalagi yang lebih buruk dari kritis selain mati? Dengan fakta itu, nggak heran kenapa Ara punya pikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Kecuali dia siap mental menyandang status sebagai pembunuh.
Untungnya Papa masih bisa diselamatkan sehingga rencana gantung diri Ara pun batal. Walau kondisi Papa sekarang macam bunyi pepatah hidup segan mati tak mau, tapi selama detak jantungnya masih terdengar, maka besar harapan untuk kembali normal.
Yang susah balik normal tuh hidupnya Ara. Bahkan dia nggak tau harus ke mana setelah Papanya siuman.
"Puas kamu?! Puas! Iya?!" Jeritan marah Mama diiringi suara pukulan yang nggak bisa dianggap main-main. Pukulan bertubi-tubi itu mendarat di kepala, di lengan, di punggung, bahkan di muka Ara yang basah akibat cucuran airmata.
"Buk, sudah... saya mohon berhenti, Ara masih sakit." Mbak Sri melolong di samping Ara berharap sang majikan berhenti layangkan pukulan pada putrinya sendiri.
Sementara Ara memilih pasrah. Pukulan Mamanya nggak seberapa sakit dibanding rasa sakit yang udah dia kasih ke Papa, pun rasa kecewa yang dia kasih ke semua orang. Tapi nggak bisa dipungkiri kalo Ara juga sakit hati sama sikap Mama dan Papanya. Keduanya amat sangat nggak bijaksana dalam menyikapi masalah ini.
Oke, dia salah. Tapi apa harus dikasih hukuman se-enggak manuasiwi ini? Gimanapun dia bukan binatang lho, bahkan anak binatang pun masih di sayang-sayang sama induknya setelah buat salah.
"Angkat kepalamu, Arabella! Lihat Mama!"
Plak!
Tamparan ke sekian kalinya mendarat cepat di pipi kanan Ara. Tubuh Ara tersungkur ke samping saking kencangnya tamparan yang dilayangkan Mama. Dirasa nggak cukup, Mama pun memaksa Ara bangun sekedar layangkan tamparan lainnya. Ibarat luka masih basah malah dikasih luka baru di tempat yang sama, kebayang kan gimana perihnya? Dikit lagi mati rasa tuh si Ara.
"Ya Tuhan, Mama!"
Tuhan emang nggak bakal ngasih cobaan di luar kemampuan umatnya. Setidaknya dalam kasus Ara pernyataan itu terbukti benar. Arbe dan Wulan berlari pontang-panting ke tengah ruangan sekedar melerai dua wanita tersayang mereka.
"Lepas!"
Mama berontak dalam kekangan Arbe, dengan demikian Arbe kunci badan Mama pake kakinya. Hati Arbe mencelos lihat kondisi adiknya, bayangkan betapa kuatnya tamparan Mama sampe pipi Ara dibikin merah lebam macam pake blush on. Mama nggak pernah mengamuk kesetanan kayak gini, apalagi sampe mukul Ara yang notabennya adalah anak kesayangannya.
"Ma... itu Adek, Ma. Adek Arbe yang lucu banget itu..." Arbe berucap lirih di telinga Mama. "Adek Arbe yang kalo sakit harus di sayang-sayang... harus di manja-manja..." Katanya lagi. "Yang kalo lagi sedih satu rumah juga ikut sedih..." Tangis Arbe pecah diujung kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold fast to love
RomanceCliche story; cinta terhalang ekonomi dan status sosial (not that serious) CW! • Markhyuck face claim • Genderswitch • NSFW 🔞 • Harsh Words • Non Baku • Love Story, Family, Romance, Comedy