Bab 20

222 43 14
                                    

Charles de Gaulle International Airport, Paris.

"Gimana? Diangkat, nggak?"

Ara menggeleng lemah. Dia pikir Benji sengaja ngeblokir nomor hapenya biar nggak bisa dihubungi, tapi pas nyoba nelpon pake hape temennya, hasilnya tetap sama, nomor di luar jangkauan, seolah-olah cowok itu lagi sembunyi di dalam hutan.

"Nomornya masih nggak aktif." Kata Ara. Tatapannya begitu nelangsa. Dalam hati bertanya-tanya kenapa Benji bisa setega ini sama dia. Salah paham yang kemaren udah selesai, kan? Terus salahnya di mana?

"Jangan sedih. Nih makan, muka lo pucet banget." Gadis di samping Ara kembali bersuara. Senyum menenangkan tersungging di bibirnya. Amanda namanya.

"Nda, gue takut pacar gue kenapa-napa."

"Emang kalian kenapa, sih? Lo belum cerita apa-apa ke gue."

Kepala Ara menggeleng lagi, jauh lebih kencang dari sebelumnya. "Gue nggak mau cerita. Terlalu privasi."

Mengingat statusnya sebagai anak politisi, yang mana sang Papa pasti punya bejibun saingan politik, hal-hal yang dapat mencoreng nama baik keluarga emang sepatutnya di keep buat diri sendiri aja, terlalu riskan kalo diceritain ke orang lain. Nggak ada yang tahu kapan Tuhan membolak-balikkan hati manusia ya kan?

Amanda hari ini emang bisa di percaya, tapi nggak tau besok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan.

"Hmm... okay." Gadis berambut brunette itu mengangguk paham. Paham kalo semua hal nggak mesti diceritain ke orang lain, apalagi hal-hal yang sifatnya privasi. Pun ditilik dari kondisi Ara yang jauh dari kata baik-baik aja, mestilah masalah yang menimpa temannya itu nggak sesimple yang dia kira.

"Jangan diliatin terus, ntar makin galau."

"Kangen banget..." Ara enggan beralih dari layar ponsel meski udah ditegur sama temennya. Mata nggak bisa bohong, setelah kejadian hari ini dia justru makin kangen sama Benji.

Sebenarnya Ara takut akan kemungkinan dia dicampakkan sama pacarnya, tapi ketakutan itu segera ditepis tiap kali melintas di kepala. Ara nggak mau mikirin hal buruk dulu, untuk saat ini biarlah hatinya tenang sampai waktunya dibuat kacau.

Lagipula Benji nggak mungkin tega ninggalin dia setelah apa yang mereka perbuat tempo hari, kan? Ara ingat betul kalimat Benji sebelum mereka pergi ke hotel, katanya dia butuh pembuktian bukan sekedar kata-kata, makanya Ara nggak pikir panjang nyerahin mahkotanya yang paling berharga. Dengan demikian Ara yakin kalo semuanya pasti baik-baik aja.

"Gue boleh kasih saran, nggak?" Amanda memasang wajah serius. Ada hal yang pengen banget dia sampaikan ke Ara, dari tadi ditahan-tahan karna takut Ara bakal tersinggung. Tapi si Ara makin lama makin kelihatan begonya. Harus dikasih paham biar nggak bego terus.

"Apa." Sahut Ara. Pandangannya masih tertuju pada layar ponsel yang menampilkan potret Benji dengan senyum lima jari.

"Lo tau, nggak? Rasa cinta lo ke pacar harusnya nggak boleh lebih besar dari rasa cinta lo ke orangtua. Papa lo lagi sakit, Ra. Lo tega ninggalin Papa lo demi ketemu cowok yang- gue yakin nggak ada kontribusi apa-apa di hidup lo. Nggak semuanya harus tentang lo, Ra."

"Gue-"

"Gue emang nggak tau inti dari masalah yang lagi lo hadapi, tapi dari kondisi Papa lo yang tiba-tiba drop, gue yakin semua ini ada kaitannya. Coba deh lo pikir lagi, seandainya- amit-amit Papa lo kenapa-napa, tapi lo anaknya malah nggak ada di samping beliau di detik-detik terakhir beliau bernapas. Lo nggak takut nyesal?"

Rentetan kata yang dilontarkan Amanda sukses buat kepala Ara tertunduk dalam. Ara nggak bisa bantah karna dia emang nggak tau apanya yang harus dibantah. Ucapan Amanda seratus persen benar, nggak ada celah untuk dibantah. Tapi ada satu hal yang bikin Ara nggak terima, Amanda terlalu nyerang personalnya. Ngomong doang sih gampang, minimal ngalamin sendiri dulu biar paham seluk-beluknya.

Hold fast to loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang