Bab 11

606 67 20
                                        

Kejadian make out yang berakhir tragis— di mana Ara pipis dipangkuan Benji –udah lewat hampir tiga hari, tepatnya dua hari 19 jam. Dan dalam kurun waktu itu juga keduanya belum kembali bertemu. Bukan saling menghindar, emang keadaan aja yang buat mereka nggak sempat ketemu sampai hari ini. Benji pergi ke luar kota, biasalah, stock umbi-umbian hampir habis, kudu gercep restock kalo nggak mau pelanggan-pelanggannya lari ke pedagang lain.

Selain nggak bisa ketemu, komunikasi keduanya juga nggak selancar biasanya, Ara kayaknya masih malu gara-gara kejadian malam itu, makanya chat dari Benji dibalas seadanya, pas telponan juga banyakan Benji yang ngomong, Ara cuma kebagian jadi keong.

"Ara woi! Ngelamunin apa sih? Dari tadi dipanggil-panggil."

"Sorry, sorry, kenapa— oh udah sampe ya." Cewek itu ketawa cengengesan. Perasaan tadi mobil mereka baru keluar dari basement mall, deh. kok sekarang udah parkir di depan resto?

"Yeuuu... segitunya mikirin Abang sopir."

"Abang sopir Abang sopir mulu kenapa sih?!" Gerutu Ara. Nggak terima pacarnya dikatain sopir, padahal mah 11-12 sama profesi aslinya.

"Turun lo berdua, mau gue kunciin atau gimana." Dinda sontak nyela. Cuaca lagi panas-panasnya si Ara sama Cece malah ngeributin hal nggak jelas. Bukan kali ini aja lho, dari pagi ribut mulu mereka.

Ngomong-ngomong Ara sama temen-temen kuliahnya udah nggak perang dingin lagi, mereka mutusin baikan karna nggak ada gunanya juga musuhan. Semester tua tuh harusnya saling bahu-membahu, bukan malah betingkah macam maba kebelet saingan IPK, gitu kira-kira ucapan bijak Cece di grup chat mereka semalam.

Dan buat menandai berakhirnya perang dingin, mereka akhirnya sepakat pergi main seharian. Tadi pagi udah sarapan bareng di kafe depan kampus, terus lanjut main ke mall, shopping, nonton, cobain berbagai macam wahana sampe nggak sadar hari udah sore. Dan mereka belum makan siang. Sebenarnya bisa banget makan di foodcourt yang ada di dalam mall, tapi Dinda bersikeras pengen makan di resto sepupunya. Sekalian buat promosi katanya.

"Wow, mevvah! Baru banget ya?" Kagum Vania— satu-satunya cewek Muslim dan berhijab di antara dua temannya. Cece juga Muslim btw, tapi beda jenis kelamin, walaupun dia juga pengen pakek hijab kayak Vania.

"Ho'oh. Hari minggu kemaren grand openingnya." Balas Dinda.

"Pantes dekorasinya masih ada." Ara manggut-manggut beri tatapan menilai pada resto yang baru dia datangi. Tiba-tiba kepikiran Benji, pasti pacar miskinnya itu nggak mau diajak ke sini, padahal tempatnya asik, pikirnya.

"Gue udah chat sepupu gue minta tempat yang bagus buat ngonten, hehe."

Dinda dengan gaya congaknya jalan ngelewatin orang-orang yang lagi asik makan. Lenggak-lenggok pake kaca mata hitam, gimana orang nggak salfok coba? Tiga lainnya ngekor, kalo Dinda bisa sepede itu mereka juga bisa kali. Apalagi Cece, berasa lagi catwalk dia tuh.

"Ayo ayo, duduk."

Kirain mereka bakal dikasih ruang VIP, ternyata nggak ada bedanya sama pelanggan yang lain. Cuma agak ke pojok dikit, sama dekat dinding kaca sehingga mereka bisa lihat pemandangan di luar. Tapi tetap aja nggak ada special-spesialnya, kan?

"Ini resto all you can eat, ya?" Bukan tanpa alasan Cece nanya gitu, semua pengunjung di sana pada sibuk nge-grill soalnya.

"Ihh males banget badan gue bau asap ntar." Ara berdecak nggak suka.

"Enggak, anjir! Ada menu lain juga. Gue tau lo lo pada nggak suka bau asap makanya gue minta tempat dipojok." Terang Dinda.

"Duduk dulu yokk... marah-marah mulu dari tadi, kayak orang hamil." Vania mulai jengah. Tubir terus kapan makannya? Mereka udah skip makan siang lho.

Hold fast to loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang