.
.
.Sekian tahun lalu ketika Rion berdiri dihadapan rumah dengan orang marah didalamnya, kini kilas balik itu kembali terngiang karna ia berada di posisi yang sama, degup jantung yang semakin tak karuan membuat mulutnya berkali kali menelan ludah, kembali ia tatap 3 pesan penuh murka diatas layar lantas menyadari telah separah apa retak yang memukul keduanya.
Masih mematung dihadapan pintu yang menjulang, membuat Rion sejenak rindu akan akan hari pertama ia dibawa masuk dalam megahnya istana ini, diatas pangkuan sang pangeran yang telah bersusah payah membangun tiap sisinya dengan pondasi cinta serta menara kasih, lantas tanpa ragu menaruh berlian cantik pada lingkar jarinya yang lentik, menyanjung tinggi layaknya putra mahkota.
Begitu keras tangan pangeran itu bekerja maka sangat wajar ketika marahnya menguar kala putra mahkota tersayangnya mulai samar, wajar jika iblis dalam tubuhnya bangkit mengundang kasar karna sabarnya kini terus dibakar. Hingga entah sebesar apa monster berapi dibalik pintu yang sejak tadi menunggunya pulang.
Berat rasanya kala Rion mendorong pintu itu karna diiringi getar luar biasa, hingga matanya menangkap lampu temaram yang menyala didalam.
Mematung tubuhnya bukan karna sosok mengerikan dihadapan, namun karna dekapan lembut yang perlahan menuntunnya menuju hangat yang tulus, kembali membawa tubuhnya tenggelam dalam sejuta kasih yang selalu sama.
Tak ada,
Tak ada pukulan serta teriakan yang menyambut, tak ada mata merah dan leher berurat yang siap mengoyak tubuh kecilnya, hanya ungkapan cinta yang kini tersalur melemahkan tanpa suara.
Nyatanya pangeran itu tak pernah bangkitkan iblis, nyata pangeran itu selalu menyimpan persediaan sabar yang entah Rion pun tak tau dimana batasnya,
Berkali kali ia jatuhkan dirinya, namun lagi lagi enigma ini datang hanya untuk mengangkatnya, lantas memberi tau bahwa hadirnya begitu berharga.
Peluk ini selalu menjadi yang ternyaman, bahu lebar serta tangan kekar ini selalu menjadi yang terbaik, karna didalam sana, Rion tau bagaimana rasanya dicintai dengan sepenuh hati,
Rion tau bagaimana rasanya diratukan meski tak bermahkota, dipilih meski tak sempurna, dan diistimewakan meski tak ada kelebihan.
"Maafin ya"
Dan lihatlah betapa rendah pangeran ini menurunkan seluruh kehormatan dihadapannya, betapa mudah kalimat yang tak seharusnya terucap itu kini mengalir tulus dari mulut dinginnya,
Pelukan terlepas hanya untuk menatap sang terkasih, membuat sorot hazel itu beradu dengan sayu matanya mengartikan sejuta kata yang memiliki satu makna, bahwa ada rasa telah terkunci disana.
"Maaf kalo kakak ada salah sama kamu"
Dan kini Rion bisa melihat betapa gagah kemuliaan yang terpatri diatas kepala pangerannya, lantas kehormatan itu membungkuk untuk kemudian diberikan pada ranum tipis milik si kayu manis,
Bahasa cinta itu kembali berbicara kala lumatan mulai dalam rasanya, melahap habis bilah bibirnya lantas lidah dingin itu merangsek masuk untuk menyentuh setiap sudut kelenjar salivanya.
Aktivitas yang sempat pudar beberapa hari itu kembali bertemu beradu rindu, hingga sekian menit kala yang lebih muda kehabisan ruang udara, sang enigma yang telah mengerti porsinya menarik diri, untuk kemudian kembali maju menyatukan kening keduanya.
Ada sengatan yang terjalin hangat beberapa saat, sebelum sang putra mahkota kembali tersadar akan posisinya, tentang layak dan tidak layak, tentang menerima dan merelakan, tentang mencintai ditahap tertinggi..
"Sayang"
Bukan, panggilan itu bukan berasal dari si dominan seperti biasa, namun dari sosok yang kini sedikit mundur untuk mendongkak menatap pangeran besarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATAMORA 2 [ bxb | pondphuwin | END ]
Fanfiction𝑫𝒊𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒍𝒆𝒎𝒃𝒖𝒕 𝒂𝒔𝒌𝒂𝒓𝒂 𝒉𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒂𝒌𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒎𝒂𝒎𝒑𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒕𝒂 𝑺𝒆𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒔𝒆𝒏𝒂𝒏𝒅𝒊𝒌𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒊𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝑱𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒈𝒊, 𝒌𝒖 𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒕𝒂𝒏𝒉𝒂 �...