5. Sebuah titik terang

15 7 0
                                    

Di kediaman keluarga B-EM.

Angkasa sedang berjalan sendiri mengelilingi semua sudut rumahnya, entah dia sedang bosan atau tidak. Tapi dia hanya berjalan dengan wajah yang malas, dan tangan yang berada di saku Hoodie yang ia pakai. Entah kenapa dia sangat ingin berjalan-jalan, mungkin dia akan pergi saja ke taman belakang rumahnya. Menghirup udara malam yang dingin, atau sekedar menatap langit yang dipenuhi oleh ribuan bintang yang bersinar.

Saat dia sampai di taman belakang, dia langsung duduk di sebuah kursi. Dia memejamkan matanya sebentar lalu membukanya kembali, sunyi malam hanya dihiasi oleh suara jangkrik yang saling bersahutan. Angin malam yang dingin menerpa wajah Angkasa. Wajah tampan, tegas dengan tatapan setajam elang itu sangat bersinar diterpa oleh cahaya rembulan.

“Mama.” Satu kata itu terucap dari mulutnya. Betapa dia sangat merindukan sang itu, dia merindukan segala yang ada di dalam ibunya. Dia menundukkan lembutnya belaian sang ibu.

“Mama, Mama selalu bilang kalo Angkasa itu anak yang kuat. Tapi sebenarnya gak Ma, Mama tau Mama yang buat Kasa kuat selama ini. Sekarang Mama gak ada di sini lagi... Tapi aku tau, Mama selalu awasin aku kan? Haha, kayak dulu Mama selalu ngawasin aku kalo jajan.” Angkasa tertawa, namun setetes cairan bening keluar dari sudut matanya. Tatapan tajam itu perlahan mulai menjadi sayu, Angkasa meremas kuat tangannya mengingat kenangan indah yang dulu ia rasakan. Sekarang tidak ada lagi yang tersisa dalam hidupnya.

“Angkasa itu anak yang kuat.”

“Angkasa kok kamu makan yang pedas, nanti kamu sakit perut.”

“Gak Ma, kan Mama yang bilang kalo Angkasa itu anak yang kuat.”

“Kamu ya, ngeyel... Nanti diare jangan nangis ke Mama!”

Angkasa tersenyum mengingat dulu ibunya selalu melarangnya memakan makanan yang pedas, tapi bagaimana pun Angkasa adalah orang yang menyukai makanan pedas. Tapi perutnya tidak akan kuat.

...

Setelah cukup lama sendiri di taman itu, dan karena angin malam semakin dingin. Angkasa akhirnya berjalan kembali memasuki rumahnya, dia berjalan pelan. Namun dia langsung berhenti saat mendengar suara seorang wanita yang sedang memarahi seseorang lewat telepon. Angkasa kenal betul dengan suara itu, suara wanita yang membuat hidupnya semakin sulit. Yang membuat ayahnya berubah menjadi sosok yang tidak ia kenal sama sekali.

Lia Kirana, ibu tirinya. Namun Angkasa sama sekali tidak menganggapnya sebagai ibu bahkan dia tak menganggapnya sebagai seorang manusia.

“Ngapai si Lia kont*l itu marah-marah, orang aneh,” batinnya.

Awalnya Angkasa tak ingin menguruskan sesuatu yang bukan urusannya, tetapi saat mendengar satu nama disebut dia langsung menajamkan indra pendengarannya.

“Udah saya bilang, buang sebuah bukti itu. Udah dari dulu saya bilang.”

“Ya, saat itu saya udah ngasih kamu uang dan buang semua bukti itu.”

“Apa? Masih kurang? Masih kurang gimana, uang sepuluh juta itu udah banyak buat preman miskin kayak kamu!”

Angkasa belum mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi, namun sampai nama ibunya disebut membuat Angkasa ingin mengetahui semuanya. Angkasa yakin semua ini berkaitan dengan ibunya.

***

“Ini, kasih sama ibu kamu. Aku gak bisa lama-lama di sini,” ucap Azavira. Dia juga memberikan beberapa bungkus makanan untuk Daniel, dia sengaja membelikan beberapa makanan untuk Daniel dan ibunya sebelum ia sampai di sini.

“Jadi kamu nemuin aku malam-malam gini, Cuma buat ngasih ini? Kan bisa kirim lewat ojek.”

Azavira menggeleng. “Aku kangen.” Daniel terlihat sangat terkejut, bahkan ekspresinya sangat lucu.

“Gak bisa lewat telepon jadi langsung ketemu aja!” Daniel tertawa dan mengelus rambut Azavira.

Dia masih tidak menyangka, jika sekarang dia telah menjadi kekasihnya. Dulu banyak kata-kata penolakan yang diterima oleh Daniel dari Azavira. Mulai dari yang kasar dan halus. Awal Daniel menyukai Azavira itu sejak Azavira pindah ke sekolah mereka sekitar satu tahun lalu. Berarti satu tahun perjuangan Daniel akhirnya berbuah manis.

“Kamu dulu selalu nolak aku ingat?”

Azavira tertawa, dia mengingat semua itu. “Gue gak suka sama cowok miskin kayak Lo, Lo itu miskin gak punya masa depan. Ngapain gue sama Lo. Semua itu kan? Hah... Itu semuanya, aku bilang sebenarnya bikin aku juga sakit. Tapi, terpaksa Papa gak akan tinggal diam. Dia akan nyakitin kamu, aku gak mau orang yang aku sayang disakiti. Itu sebab—.” Ucapan Azavira terpotong dengan Daniel yang langsung memeluknya.

Dinginnya udara malam itu langsung terasa hangat dengan pelukan Daniel. Cahaya rembulan malam menjadi saksi atas kehangatan cinta dua insan yang saling menyayangi itu. Semua bintang tersenyum melihat keduanya sekarang saling memahami, dedaunan melambai karena kegirangan dengan kasih keduanya yang berpadu, membuat angin yang lewat langsung berlarian ke sana kemari karena ikut merasa gugup.

“Ya udah, aku pulang ya,” ucap Azavira sambil tersenyum. “Oh iya bukunya mana?” Azavira lalu mengulurkan tangannya untuk menerima buku dari Daniel. Dia akan membuat alasan pada ayahnya jika dia pergi ke rumah temannya untuk mengambil buku. Setelah berpamitan, Azavira pun pergi dengan kembali memesan taksi.

...

Keesokan harinya.

Angkasa sedang berada di sebuah gang yang sangat kumuh, bau sampah dan bau busuk lainnya berpadu dan membuat indra penciuman orang akan mati. Dengan berjalan pelan dia mencari sebuah rumah, yang memiliki nomor yang sama dengan yang ia lihat di alamat yang ada di ponsel Kirana.

***

Semalam, pukul sepuluh malam. Setelah Angkasa mendengar semua percakapan Kirana, dia memutuskan untuk pergi menemui lawan bicara Kirana di telepon itu. Saat kedua ayahnya dan Kirana sedang menonton televisi bersama, Angkasa sengaja memberikan teh kepada mereka.

“Loh tumben?” tanya sang ayah dengan heran, namun dia juga tetap mengambil teh buatan Angkasa. Begitu juga dengan Kirana.

“Gak ada, Cuma tadi buatnya kebanyakan. Dari pada mubazir,” ucap Angkasa, dia tetap dengan sikap aslinya tanpa berpura-pura agar tidak ada yang curiga karena dia telah mencampur obat tidur di dalam teh itu.

“Tehnya enak ya, Angkasa pintar banget bikin teh,” ucap Kirana yang diangguki oleh Jonatan.

Tak lama, seperti yang direncanakan oleh Angkasa. Keduanya akhirnya pergi ke kamar mereka dan tertidur pulas, bahkan suara ledakan bom atom tidak akan membuat mereka bangun sebelum efek dari obat itu melemah. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Angkasa untuk masuk ke dalam kamar ayahnya, dia mengambil ponsel Kirana dan menempelkan jempolnya ke sensor sidik jari di ponsel itu, agar ponselnya terbuka.

Setelah berhasil terbuka, Angkasa melihat nomor yang ada di panggilan terakhir. Angkasa menyalin nomor itu lalu keluar dari kamar, dia pergi ke kamarnya dan membuka komputernya. Dia sedikit memiliki keahlian komputer, dia bisa melacak keberadaan nomor telepon itu.

D 3A Mengejar Cinta (End) (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang