7. Hukuman yang setimpal

9 7 0
                                    

Malam hari.

Di kantor polisi, Jonatan sedang mengurus beberapa surat-surat Kirana. Dia tidak akan mencoba membebaskan istrinya, hanya membuat beberapa surat pelepasan. Dia sama sekali tak meminta keringanan untuk hukuman istrinya.

Angkasa datang dengan diikuti oleh teman-temannya di belakang. Angkasa langsung pergi menemui Kirana yang kini berada di balik jeruji besi.

"Gue pastikan hukuman mati bakal dijatuhi sama Lo!" tanpa aba-aba, Angkasa langsung mengatakan hal itu. Dia menatap tajam begitu juga dengan teman-temannya.

"Andai Lo bukan cewek, mungkin sebelum Lo dimasukkan ke sini. Gue udah bikin Lo sekarat dulu," ucap Angkasa, Jonatan datang dan menepuk pundak anaknya. Angkasa menatap ayahnya, begitu juga ayahnya. Keduanya lalu saling memeluk.

"Papa, aku udah bilang selama ini dia itu cewek gak baik," ucap Angkasa.

Jonatan mengangguk. "Maafin Papa, gak dengarin kamu nak." Sebenarnya, Jonatan menikahi Kirana bukan karena cinta tapi agar Angkasa tak kehilangan cinta seorang ibu. Karena saat ibunya meninggal, Angkasa masih sangat kecil.

"Ya Angkasa memang gak bisa ngapain Lo, tapi gue bisa." Azavira menarik rambut Kirana hingga kepala Kirana membentur jeruji besi itu dengan kuat, bahkan suara benturan itu terdengar sangat renyah.

"Gue tuh rada-rada kesal sama cewek kayak Lo, aduh. Pak, bukain selnya. Saya mau jambak ini cewek." Azavira terlihat sangat kesal, sedangkan Kirana tidak tahu harus berkata apa.

Dahinya bahkan langsung menonjol sebesar kentang. Sekarang dia tidak bisa lagi mengelak. Dulu rencananya adalah menyingkirkan ibunya Angkasa agar dia bisa masuk ke keluarga B-EM. Tapi sekarang rencananya telah terbongkar. Dia hanya bisa meratapi nasibnya dan menunggu vonis apa yang akan dijatuhkan padanya.

...

Di sebuah kafe yang tak jauh dari kantor polisi, Angkasa dan teman-temannya sedang mengobrol bersama. Mereka semua menyemangati Angkasa dan berusaha menghiburnya. Saat mereka pergi ke makam ibunya Angkasa tadi sore, Angkasa juga terlihat sangat terpukul.

Dia berusaha menahan air matanya, mereka tahu Angkasa itu adalah tipe orang yang tidak ingin terlihat kemah di mata orang lain.

"Keadilan buat Mama akhirnya bisa gue berikan," ucap Angkasa. Daniel dan kedua bocah kembar memeluknya, mereka memang sahabat sejati. Bukannya teman yang datang saat dia membutuhkan. Lalu pergi dan meninggalkan luka.

Kehangatan empat bersahabat itu selalu disaksikan oleh Azavira dan Ariana, mereka juga sangat senang dengan semuanya yang sangat indah.

...

Keesokan harinya.

Hari ini adalah hari Minggu, karena ini adalah hari libur banyak orang yang akan bermalas-malasan di kasur mereka. Tapi tidak untuk seorang wanita cantik, Azavira. Dia sedang bersemangat dan bersiap-siap untuk pergi menjemput sahabat masa kecilnya ke bandara. Setelah selesai bersiap-siap, Azavira pun berangkat dengan menggunakan mobil.

"Vira mau ke mana sayang?" tanya sang ibu dari kejauhan.

"Mau pergi ke bandara, Ferdy pulang hari ini!" ucap Azavira sedikit berteriak. Dia pun pergi ke garasi dan mengambil mobilnya, setelah menyalakan mesin mobil. Dia pun mulai melaju meninggalkan kawasan rumahnya.

Perjalanan menuju bandara kira-kira memakan waktu setengah jam, dan pesawat temannya juga akan mendarat kira-kira setengah jam lagi. Jadi saat dia sampai tidak ada yang saling menunggu lagi.

***

Saat ini di sebuah kafe, Angkasa sedang duduk sendiri di salah satu meja. Kebetulan kafe ini belum terlalu ramai, dan itulah yang disukai oleh Angkasa. Namun suasana sepi itu berubah seketika menjadi rusuh saat seorang wanita berbicara dengan keras. Dia seperti memberikan arahan tapi dengan nada tinggi. Angkasa menatap wanita itu, terlihat seluruh pegawai kafe sedang berbaris dan wanita itu yang memarahi semuanya.

Walau pun terlihat sedang marah-marah tidak ada yang merasa takut padanya, bukan juga berarti mereka meremehkan. Mungkin hal seperti itu sudah biasa.

Tapi tunggu, Angkasa sepertinya pernah melihat wanita yang sedang marah itu. Angkasa mencoba mengingat kembali, dan dia mengingatnya. Ugi adalah wanita yang memberikan payung pada Angkasa. Wanita yang jika Angkasa tak salah, namanya Alana. Setelah dia berhenti marah-marah, dia kembali memasuki sebuah ruangan. Lalu semua pegawai itu bubar satu persatu.

"Mas? Yang tadi marah siapa? Kok dia marah?" tanya Angkasa pada salah satu pegawai yang lewat. Dia bukannya urus dengan masalah orang lain, tapi dia hanya penasaran.

"Oh, dia itu anaknya yang punya kafe. Bu Ainun lagi sakit, dan itu anaknya namanya Alana. Dia mah bukan marah-marah, tapi cuman ngasih semangat aja. Dan berhasil, semuanya pada semangat," jelasnya. Angkasa mengangguk, setelah itu pegawai kafe itu kembali bekerja.

"Alana ya?" Angkasa bermonolog. Entah apa yang ia pikirkan, namun senyuman belum pernah terbit dari bibirnya. Baru kali ini, ada tiga hal yang bisa membuat Angkasa tersenyum. Kasih sayang ibunya, ketiga sahabatnya, lalu penderitaan orang yang ia benci. Namun saat menyebut nama 'Alana' dia malah tersenyum dan senyumannya terlihat sangat tulus.

***

Senin, pukul sembilan pagi.

Di kelas, semua siswa-siswi sedang duduk senyap sambil memperhatikan seorang siswi baru di kelas mereka. Siswi baru itu sangat cantik dengan perawakan yang terlihat galak. Dia memperkenalkan namanya di depan kelas, dan namanya adalah Alana.

Alana Jeswita. Dia murid pindahan dari SMA 5. Angkasa sangat terkejut, ternyata wanita yang kebetulan bertemu dengannya itu sekarang akan satu kelas dengannya. Mata mereka tak sengaja bertemu dan saling menatap cukup lama. Azkara menyadari jika tatapan Angkasa tidak lepas dari siswi baru itu. Azkara menyikut lengan Aksara, memberi kode. Aksara mengangguk, dia tahu apa yang ada di pikiran Azkara.

...

Jam istirahat, empat sekawan beserta Ariana dan Azavira sedang berada di kantin. Semuanya sibuk dengan makanan mereka masing-masing, kecuali Angkasa dan Azavira. Angkasa menatap Alana yang duduk jauh dari mereka, sedangkan Azavira sibuk dengan ponselnya. Entah dia berkirim pesan dengan siapa.

"Kalo memang udah mulai ada rasa, dekati aja!" ucap Aksara. Angkasa sadar, dia lalu mengaduk teh tanpa gula miliknya.

"Rasa asin ada lah," ucap Angkasa teramat ketus. Semuanya saling menatap dan tersenyum. Kecuali Azavira.

Daniel menyenggol Azavira, dan membuat wanita itu terlihat kesal.

"Apaan sih, ganggu aja. Orang lagi sibuk!" ucap Azavira, Daniel terkejut namun dia masih tersenyum. Mungkin memang Azavira sedang sibuk.

"Makanannya dingin, nanti gak enak loh." Daniel berkata dengan sangat lembut, namun Azavira sama sekali tak merespon. Dia masih sibuk bertukar pesan dengan seseorang, dan sesekali menyendok makanan yang ia pesan ke mulutnya.

"Sibuk ngapain sih?" Daniel lalu mengambil sendok Azavira dan menyuapinya. "Kalo gak gini kamu gak bakal makan." Daniel menyuapi Azavira dengan sangat sabar. Sedangkan Azavira masih sibuk dengan bertukar perasannya. Dia bahkan tertawa cekikikan, tapi itu membuat Daniel juga ikut tersenyum.

"Gini nih, kalo udah kepalang bucin." Angkasa menyindir.

"Bilang aja Lo iri," ucap Azkara. Angkasa memperlihatkan wajah datarnya, dia hanya diam dan sedikit menyerap tehnya.

D 3A Mengejar Cinta (End) (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang