"Selamat pagi, Ran.." menyapa Rania, rekan pengacara di firma kecil tempat mereka bekerja, Lir Keningar justru disambut senyum tengil dara Betawi tersebut.
"Sejak kapan kamu punya cowok, Ly?"
Rania yang sejak tadi berdiri di sebelah mesin fotocopy, mulai menjejalinya dengan pertanyaan. "Bicara yang jelas."
"Tuh!" dagu Rania menunjuk sekeranjang buket bunga tulip putih, nampak asing di kantor mereka yang sangat sederhana.
"Tulip putih, permintaan maaf. Kamu lagi berantem sama cowokmu ya?"
Lir Keningar mendengkus kesal. Tangannya sontak meraih ponsel dari dalam tas, mendial nomor Stefanie. Sekretaris Harya Anindito Rupadi. Panggilan telponnya diangkat lima detik kemudian. "Selamat pagi, nona Stefanie. Bisa saya bicara dengan bapak Harya? Tunggu.. tidak, saya tidak perlu bicara dengan beliau. Sampaikan saja kata-kata saya ini, persis tanpa ditambah atau dikurangi. Saya sudah bicara dengan jelas tadi malam. Saya tidak tertarik dengan bapak Harya, sedikitpun. Berhenti bermain-main dengan saya. Saya sudah memaafkannya, asal jangan pernah lagi muncul di hadapan saya. Tak perlu mengirim buket bunga ucapan permintaan maaf segala. Ini tidak akan berpengaruh apa-apa buat saya. Sekali lagi bapak Harya bermain-main dengan saya, saya tidak akan segan-segan melaporkan beliau ke pihak yang berwajib. Saya bisa menjerat beliau dengan pasal 27B atau pasal 29 ayat (1) UU 1/2024. Saya yakin itu akan mencederai tidak hanya bapak Harya, tapi juga Powerhouse International."
"Oke, itu saja. Terima kasih. Selamat pagi."
Tanpa mendengar jawaban Stefanie, Lir Keningar mematikan sambungan telpon.
"Siapa Harya? Cowok kamu bukan Bumi namanya, Ly?" Tak hanya Rania yang melongo karena rekannya marah-marah di pagi hari, Lir Keningar pun tak kalah speechless di tempatnya. "Buket bunganya dari mas Bumi, Ly. Katanya, maaf semalam gak bisa ikut makan malam bareng."
Muka Lir Keningar memerah, telinganya pun ikut memanas. "Kenapa gak bilang dari tadi, Ran?" cicitnya menahan tangis. "Jadi cowok kamu mas Bumi apa mas Harya yang bener?" Lir Keningar tidak paham, bagaimana Rania bisa lulus dari Fakultas Hukum UI dan menjadi pengacara dengan otak dangkalnya ini? "Gak dua-duanya, Rania" Lir Keningar yakin, bahkan pak Ronan di lantai dua bisa mendengar teriakannya barusan.
oooo
Lir Keningar ingat betul pesan eyang kakung, saat dia berkata ingin belajar ilmu hukum. Eyang kakung memberi syarat, asal Lir Keningar menjadi pengacara. Hakim atau Jaksa, bagus. Namun menurut eyang kakung dibandingkan keduanya, pengacara lebih dekat dengan orang kecil. Tak ada atasan atau instansi yang mengikat dan menekan, hingga minim suap-menyuap. Itu benar, meski tak mutlak. Namun tekanan fisik dan mental, setiap kali menangani kasus berat kadang memaksa Lir Keningar untuk datang ke salah satu dari dua tempat. Guna melepas stres. Anger room atau Studio Tari Tango.
Namun, Lir Keningar yakin tak akan ada satu hal-pun yang sanggup meredakan stresnya karena telpon dari kepolisian hari ini. Bukan, bukan karena kliennya tertangkap tangan dan mendekam dalam jeruji tahanan. Namun karena seorang yang mengaku sebagai "pelaku" dan korbannya adalah Lir Keningar sendiri sedang menyerahkan diri. Lir Keningar tak ingat kalau dia melaporkan seseorang akhirnya bergegas menuju Polres Metro Jaksel. Harya Anindito Rupadi, si pelaku yang dengan tenangnya duduk di depan penyidik itu menoleh saat Lir Keningar tiba. Tersenyum lembut, meski sorot mata Lir Keningar memancarkan api amarah. Ada dua lawyer yang membersamainya, juga Stefanie. "Ada apa ini, pak?" menekan emosi, Lir Keningar bertanya pada penyidik yang menghubunginya.
"Justru saya yang harus bertanya, mbak. Apakah boleh menggunakan layanan publik, khususnya kepolisian untuk urusan pribadi macam ini?" penyidik kepolisian itu menatap bergantian pada Lir Keningar dan Harya. Bagai meminta penjelasan. Beberapa rekan polisi yang duduk di meja masing-masing, hanya bisa menggeleng heran.
Saat Lir Keningar berbalik ke arahnya, Harya mengedikkan bahu.
"Saya cuma mau memeriksa apakah ada laporan atas diri saya, bapak polisi? Posisi saya mengharuskan saya selalu siap dengan kemungkinan-kemungkinan untuk mengantisipasi efek terhadap saya secara personal maupun pada perusahaan. Terlebih jika itu berkaitan dengan pelanggaran hukum. Saya pribadi yang taat hukum dan rajin membayar pajak. Pagi tadi, ibu pengacara ini berkata akan melaporkan saya terkait dugaan ancaman dan cyberstalking."
Memejamkan mata karena frustasi dan malu, Lir Keningar hanya bisa menundukkan badan. Meminta maaf pada penyidik berkali-kali. Perkara ini bisa berujung panjang, jika saja Kapolres tak turun dari ruangannya dan untuk menyapa Harya. Direktur Powerhouse International itu menolak ajakan sang Kapolres untuk menikmati teh di ruangan pribadinya dan justru mengejar Lir Keningar yang dengan geramnya keluar dari kantor kepolisian tersebut. "Sudah puas, pamer kekuasaan dan pengaruh.. bapak Harya?"
Lir Keningar menatap tajam pada laki-laki yang menghadang langkahnya. Stefanie, dan dua pengacara pribadi Harya berdiri cukup jauh dari mereka. "Pamer?" Harya menggaruk keningnya dengan ujung jari telunjuk. Senyumnya terulas di bibir.
"Iya pamer. Apa namanya kalau bukan pamer? Tak cukup dengan bermain-main dengan gugatan, anda bahkan.. wow dengan mudahnya datang ke kepolisian untuk menyerahkan diri. Lalu keluar dari instansi penegak hukum dengan diantar Kapolres, seolah kelakuan anda ini benar."
"Saya sudah jelaskan tadi di dalam mengenai penyerahan diri saya karena kamu berkata akan melaporkan saya. Lebih baik saya menyerahkan diri dari pada menerima surat panggilan penyelidikan. Kalau itu tentang gugatan buat Darwis memang benar dia melukai muka saya, saya belum mengajukan gugatan tapi bisa saja suatu saat saya lakukan. Darwis meminta jasa pendampingan dari.." Harya menunjuk Lir Keningar dengan ujung dagunya. "Lalu di mana letaknya saya main-main? Ah but there is one thing right. I wanna play with you."
(Ah, meski ada satu hal yang tepat. Aku ingin bermain denganmu).
"I am not a toy you can play with."
(Aku bukan mainan yang bisa kamu permainkan).
"I hardly interested in toys."
(Aku sukar tertarik dengan mainan).
"So what is playing with you insisted?¹" ada jeda beberapa waktu yang Lir Keningar dan Harya habiskan dalam diam tanpa perdebatan. Selain Harya tampak menimbang-nimbang jawaban, memilih kata-kata paling tepat yang dapat meminimalisir sikap antipati Lir Keningar yang amat tinggi kepadanya. Beberapa orang yang lalu lalang juga memaksa Harya untuk bungkam."We should hang out. Satu-satunya yang menyenangkan dari telponmu pada Stefanie tadi pagi adalah, tidak ada seseorang untukmu sehingga yang terpikir olehmu saya sewaktu melihat buket bunga di atas meja kantormu" lanjut Harya kemudian. Senyum geli melekat di bibirnya. "Pergi keluar, makan dengan saya. Saya tahu rumah makan Rawon paling enak di Surabaya. Sushi tei di akhir bulan juga boleh, di salah satu brand hotel di bawah naungan Powerhouse International. Saya berani jamin itu olahan Sushi terenak di Jakarta. We can watch any season two of your favorite movies at the premiere². Pergi menonton tennis di Monaco waktu liburan panjang. Sailing from Bali to Sydney isn't bad idea, if you're willing to³. Atau sekedar manasin mobil di sirkuit di dekat kantor kamu di akhir pekan. Things to do to spend time together."
(Jadi apa yang kamu maksud dengan bermain?¹).
(Kita bisa menonton season 2 dari film kesukaanmu di premier).
(Berlayar dari Bali ke Sidney juga bukan ide yang buruk. Selama kamu mau³).
"Too much effort for someone you are just curious about, ya bapak Harya?" Harya menggeram rendah, menerima sarkasme lain dari Lir Keningar. "Lalu apa rencananya setelah semua rasa penasaranmu terjawab?"
(Terlalu banyak usaha untuk seseorang yang hanya membuatmu penasaran, ya bapak Harya?)
"You need to be absolutely certain about everything in your life, do you?"
(Kamu harus selalu pasti dengan setiap hal dalam hidupmu, iya?)
Lir Keningar menggeleng, menerima pertanyaan lain dari Harya alih-alih sebuah jawaban. "No, but it's cruel for me to have commited relationship with no intention to staying with them long term. Therefore, I am a woman of my principle, bapak Harya."
(Tidak, tapi terdengar kejam buatku, untuk memulai sebuah hubungan tanpa niat untuk bertahan lama. Dan, aku adalah perempuan yang memegang prinsip).
KAMU SEDANG MEMBACA
Right Person, Wrong Time.
RomanceThe crossing of path between two who may not end up together. Right Person, Wrong Time. *Disclaimer: Setiap karakter dalam cerita ini fiktif, tidak mengacu maupun terinspirasi dari tokoh manapun. Latar belakang budaya-sosial Pura Mangkunegaran atau...