Chapter|Prolog

28.5K 1.1K 19
                                    

"Lily.."

Seruan Kyomi tak hanya mencuri perhatian dan menghentikan langkah Harya, Gesang, dan Yasa. Namun juga Lily yang dipanggilnya. Gadis pengacara yang ditanya, mengerutkan kening. Entah di mana Kyomi mengenalnya? Mungkin dia tengah memutar memori di otak. Mengingat-ingat wajah Kyomi. "Lily kan? Universitas Basuki."

"Kyomi Tjahja Basuki" gumam gadis pengacara itu lirih. Senyum lebar tersungging di bibir Kyomi.

"Kasus apa?" Harya berani bertaruh, Kyomi tak punya hubungan erat dengan gadis pengacara ini. Bahkan dia perlu beberapa waktu untuk mengingat wajah Kyomi. Padahal Kyomi tak banyak berubah meski beberapa bagian sudah dipermak operasi plastik. Pun perempuan sekelas Kyomi, putri bungsu pemilik Yayasan Basuki, tak mungkin berkawan dengan gadis berlatar belakang sederhana. Gadis pengacara dengan kemeja putih dan celana panjang warna hitam ini. Harya tebak, dia salah satu penerima beasiswa di Universitas Basuki.

Sekilas Harya memperhatikan, si gadis pengacara mengisyaratkan agar kliennya lebih dulu menuju ruang sidang. "Perceraian" jawabnya lugas kemudian.

"Oh" Kyomi mengangguk kecil.

"Sebentar lagi sidang dimulai."

Si gadis pengacara mengisyaratkan bahwa dia harus segera pergi. Menengok pada jam tangan bertali coklat tua yang melingkar di pergelangan kanan. "Oh, oke. Tapi boleh minta kartu nama kamu gak?" sedikit ragu tapi tak enak menolak, Lily menyodorkan kartu namanya pada Kyomi. Gadis pengacara itu hanya tersenyum tipis saat Kyomi melambaikan tangan dan berkata "sampai jumpa lagi, Ly." Seolah sangsi akan ada pertemuan selanjutnya. Lalu dia menganggukkan kepalanya ringan, sebagai sapaan formalitas pada Harya, Gesang dan Yasa yang tak dikenalnya. Dia berjalan menuju ruang sidang tanpa menoleh lagi.



It was a very short encounter. But Harya start to be curious.

(Itu pertemuan yang sangat singkat. Namun Harya mulai merasa penasaran).

"Nama lengkapnya Raden Rr. Lir Keningar Mangkoedihardjo. Anak-anak biasa manggil dia dengan nama kecil, Lily. Dia mahasiswi penerima beasiswa di Universitas Basuki. Aku inget sekarang nama panjangnya."

Kyomi menunjukkan kartu nama bertuliskan Rr. Lir Keningar M. "Bapak dan kakeknya Lily pensiunan tentara. Tipikal aparat jujur dan bermoral, makanya mereka miskin. Jarang-jarang kan, mencapai jabatan seprestisius KASAD dan menyandang bintang empat tapi tidak cukup kaya sewaktu pensiun? Latar belakang ibunya juga gak biasa. Keluarga Pura Mangkunegaran, Solo."

"Lily ini anaknya sederhana, tapi gak ada yang berani bully. Palingan yang berani, anak-anak cowok yang dia tolak."

"Kyo, gak bully anak orang itu emang suatu keharusan deh."

"Gaya! Udah lupa kenapa kita ke pengadilan hari ini Yas?" Menjeda cerita mengenai Lir Keningar atau Lily, Kyomi mengingatkan bahwa mereka ke persidangan karena Yasa tersandung kasus penyalah-gunaan kekuasaan di tempat kerja. Dia dituntut oleh mantan pegawainya karena malah memecat korban pelecehan seksual demi nama baik perusahaan dan petinggi perusahaan keluarganya. Yasa Prabukusuma, melengos kesal.

"Intinya gitu lah. Lily ini semacam anomali. Cakep, pinter, latar belakang keluarga gak biasa tapi mereka hidup sederhana. Beberapa anak cowok pernah nekat nembak dan berakhir ditolak" Kyomi melanjutkan ceritanya setiba mereka di parkiran.

"I think she knows where she belongs, she is smart after all¹. Di lingkungan kita, pacaran, tunangan dan terlebih pernikahan, semua tolok ukurnya uang dan status sosial. Mungkin karena itu juga dia gak pernah datang ke acara reuni. Sedikit berlebihan, karena anak-anak penerima beasiswa lain masih suka datang. Justru mereka merasa itu ajang mencari koneksi" cerita Kyomi berakhir saat akhirnya dia masuk ke mobil Gesang.

(Aku rasa dia sadar posisi. Bukan tanpa alasan aku bilang dia pintar¹).

Bruk.

Harya terjatuh ke lantai, setelah pukulan tinju lawan sparring-nya mengenai wajah bagian kanan. Tampak Darwis, lawan sparring sekaligus pemilik studio mahal di SCBD itu melongo. Untuk pertama kalinya Harya Anindito Rupadi, anak laki-laki penguasa bisnis pengembang perhotelan itu jatuh karena pukulan Darwis. Di antara para pelanggan studio mahal ini, Harya yang paling serius menekuni hobi tinju. Lebih serius dari Darwis sendiri. "Lu gak apa-apa, Har?" butuh beberapa detik bagi Darwis untuk bertanya. Ikut melepas sarung tinju saat Harya memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja. Kecuali bahwa, luka kecil di sudut bibirnya mengeluarkan darah segar.

"Kamu mau bantuin saya gak?" laki-laki yang sedang mengatur nafasnya itu menatap Darwis dengan mata berbinar jenaka. Senyuman manis terpatri di bibir.

"Asal gak aneh-aneh aja, Har."

Harya mengurai tawa renyah, tawa khas cowok manis dan kaya raya. Senyuman tanpa beban dari salah satu pewaris chain hotels terbesar di Indonesia. Kepalanya menggeleng ringan, tapi Darwis sangsi. Kadang apa-apa yang bagi orang lain tampak biasa, bagi orang macam Harya justru luar biasa. Dan sebaliknya, kadang yang orang lain anggap hal gila dan berlebihan, bagi orang-orang semacam Harya justru hal yang biasa. Andai Darwis bisa merangkumnya dalam satu kalimat, mungkin begini. Anak-anak orang kaya yang tak pernah hidup susah dan bisa mendapatkan apa saja yang mereka mau, gampang sekali tertantang. Dan mereka mempunyai kegilaan-kegilaan yang jarang terpikir orang-orang dari kalangan biasa.








*Latar belakang sosio-budaya dalam cerita ini hanya meminjam, setiap tokoh fiktif dan tidak mengacu pada tokoh ahistoris mana pun. Penggunaan gelar kemungkinan tidak sama dengan peraturan asli Kasunanan Surakarta atau Pura Mangkunegaran.

Right Person, Wrong Time.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang