Chapter|08

6.3K 731 37
                                    

Turun dari mobil, Harya mengedarkan pandang pada tempat makan yang dipilih Lir Keningar. Pecel Madiun dan Iga Bakar Cobek, di pinggir jalan di seberang firma kecil tempatnya bekerja. Saat Harya menyibak kain spanduk yang menghalangi pemandangan jalan, Lir Keningar sudah duduk di salah satu kursi plastik. Gadis pengacara itu menunjuk kursi plastik di sebelahnya dengan dagu, mengisyaratkan Harya untuk duduk. Sembari mengikat rambut keritingnya dan menyingsing lengan kemeja. Senyuman pura-pura ramah dia sematkan di bibir. Harya duduk, menggeser kursi semepet mungkin dengan Lir Keningar hingga bahu keduanya bersinggungan.

"Sengaja milih tempat kayak gini, ya? Mau bikin saya kapok."

Lir Keningar mengerjap lembut. "Masakan Yuk Na enak, itu satu. Dekat dengan tempat kerjaku jadi aku gak harus repot-repot naik kendaraan umum di jam macet, itu alasan kedua. Dan ketiga, aku makan di tempat-tempat biasa aku makan. Stop thinking the world revolves around you."

(Berhenti berpikir kalau dunia ini berputar/hanya tentangmu).

Harya mengangguk pelan.

"Oke. Kalaupun iya, saya cuma mau bilang kalau itu sia-sia. Kamu pikir saya gak pernah makan di pinggir jalan? Di tempat yang lebih buruk dari ini juga pernah. You never would've imagined what I have done to convince people to sell their land or property."

(Kamu tidak akan pernah membayangkan apa saja yang aku lakukan untuk meyakinkan orang-orang agar menjual tanah dan properti mereka).

"Oh ya? Aku pikir kalian suka cara cepat, misal dengan nyewa preman."

Harya mendengkus geli, seharusnya dia tersinggung dengan kritikan Lir Keningar. Tapi entah kenapa dia tak merasa kesal dengan kritik demi kritik yang dilontarkan gadis ini tiap kali bertemu.

"Kamu pikir saya mafia."

"Oke. Tapi geseran dikit bisa kan?" Harya tak beranjak, meski Lir Keningar melototinya. "Katanya biasa makan di tempat begini, tapi gak mau dekat-dekat orang lain."

Sengaja mengecilkan suara, Lir Keningar menertawakan gelagat Harya yang tak nyaman jika berdempetan dengan pelanggan lain. Bermacam-macam manusia ada di warung kaki lima ini, rata-rata orang yang hendak pulang setelah bekerja seharian. Wajar jika sedikit kotor dan bau, bagi standar Harya Anindito Rupadi yang sepanjang hari berada di ruangan ber-ac, parfumnya Tom Ford, nyetirnya Porsche, dan membungkus diri dengan setelan dari Zegna.

"You smell lovely, though."

(Tapi bau kamu enak).

Tawa Lir Keningar pudar perlahan, satu tangannya menumpu pada meja untuk menutupi telinganya yang memerah. Membuang muka ke arah jalanan. Untungnya, anak laki-laki Yuk Na segera datang membawa pesanannya. Dua nasi pecel dan Iga bakar cobek, juga beberapa tambahan lauk-pauk. "Terima kasih, mas."

"Sama-sama mbak Lily."

Anak laki-laki Yuk Na mengerling ke arah Lir Keningar, pelanggan yang sangat dikenalnya. Tak lupa melirik sejenak pada Harya Anindito Rupadi. Baru kali ini ada laki-laki spek Forbes atau Times Magazine yang singgah di warung kaki lima mereka.

"Tukang ojek, tukang parkir, tukang galon, pramusaji saja mas-mas ya? Masa iya saya, bapak? Saya ini kan bukan bapak kamu."

Lir Keningar meletakkan piring dan alat makan untuk Harya di hadapan laki-laki itu tanpa mau merespon sedikitpun protes dari mulutnya. Tak lupa sebotol air mineral yang belum dibuka. "Bismillah dulu, pak. Jangan banyak bicara kalau makan" tak lupa, menyentil balik. Lalu menikmati nasi pecel dan Iga bakar legendaris itu, sesekali memperhatikan bahwa nyatanya Harya juga menikmati makan malamnya di warung emperan. Rupanya, direktur Powerhouse International ini tak bohong.

Right Person, Wrong Time.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang