Chapter|14

5.8K 694 14
                                    

Lir Keningar mengedarkan pandang ke seluruh area setibanya di restoran yang dipilih Harya. Harya, sudah menunggu. Duduk di salah satu meja, mengabaikan pemandangan kota di luar sana yang terlihat gemerlap dari kaca restoran tertinggi di Jakarta. Laki-laki itu bangkit dari kursinya saat matanya menangkap kehadiran Lir Keningar. Senyum terpatri di wajah, menarik kursi untuk gadis pengacara itu sebelum kembali duduk berhadap-hadapan.

"Maaf tidak bisa jemput."

Lir Keningar mengangguk ringan.

"Lagian aku memang ada janji dengan klien di sekitar sini"

Harya mengulum bibir, menelisik perubahan Lir Keningar yang sedikit lebih kurus dari yang diingatnya. Setelah pertemuan terakhir yang penuh drama hampir dua bulan yang lalu, ini makan malam mereka yang ketiga kali. Beberapa kali janji makan malam mereka urung, karena Lir Keningar disibukkan dengan persidangan dan posisi barunya sebagai salah satu penasihat hukum dari gusti Bumi. Dia bahkan harus bolak-balik ke Solo, kota kelahiran ibunya sebulan terakhir. Kadang, saat Lir Keningar ada waktu justru Harya yang sibuk. Begitu seterusnya hingga dua bulan hampir berlalu. "Saya sudah pesan beberapa menu, mau tambah?" Lir Keningar menggeleng lemah.

"Apa saja."

"Capek?" Lir Keningar terkesiap, saat Harya mengulurkan tangan hingga jari-jemari laki-laki itu yang terasa hangat menyentuh dan mengusap punggung tangannya yang dingin.

"Cuma sedikit stres" Lir Keningar berdeham, sebelum menjawab.

"Stres ya?" Harya manggut-manggut. "Kalau begitu, setelah makan kita harus ke suatu tempat" laki-laki itu meyakinkan Lir Keningar lewat isyarat, mengerlingkan sebelah mata pada gadis yang memasang wajah ingin tahu. "Lihat saja nanti."

Harya menarik tangannya saat pramusaji datang menyajikan makanan. Pramusaji meletakkan Ikan bumbu lemon dengan cabai Peru, olahan kepiting pedas, udang goreng, foie gras, unagi, dan avocado. Tak lupa sushi dan sashimi, juga cocktails.

"Ngomong-ngomong, sudah baikan dengan adikmu?" Lir Keningar menghela nafas panjang. Dua bulan terakhir ini, perang dingin antara dirinya dan Rakai masih terasa panas. Setiap kali Lir Keningar mulai menyentil masalah skripsi dan sidang, Rakai akan sengaja membawa topik mengenai Harya di hadapan bapak dan ibu. Tak lupa pula dengan ancaman-ancaman tersirat tentang kebohongan kakaknya. Pertemuan dengan Harya, berduaan di dalam mobil. Mau tak mau, Lir Keningar menahan diri agar tak memancing pertengkaran meski dia kesal bukan main. Terlebih perubahan sikap Rania yang menjadi lebih kaku, gara-gara hubungan asmaranya dengan Rakai tertangkap mata Lir Keningar. Meski mereka berdua berusaha sebaik mungkin untuk profesional saat bekerja.

"Mereka berdua sudah dewasa. Mungkin akan lebih mudah kalau kamu mau menerima hubungan keduanya."

Lir Keningar meletakkan sumpit, air mukanya berubah tegas.

"Dewasa itu sebutan bagi yang sudah bisa bertanggung jawab pada diri sendiri. Rania jelas iya, tapi Rakai? Lebih bijak kalau dia mapan dan jadi orang dulu sebelum sok-sokan mengencani anak perempuan orang."

"Sometimes, it can't be helped.. Lily. When you like someone, it can't be helped that you remember things about them. Say their name often, the way they talk, they eat, they walk, everything feel interested. You stupidly smile everytime you think or see them. You will be wanting to know everything about them as individual. Then you would try to get closer."

(Kadang, hal seperti itu tidak bisa ditahan.. Lily. Ketika kamu menyukai seseorang, kamu otomatis mengingat-ingat hal tentangnya. Sering menyebut namanya, cara dia berjalan, bicara, makan, setiap hal terasa menarik. Kamu tersenyum seperti orang bodoh setiap kali memikirkan atau melihatnya. Kamu ingin tahu setiap hal tentangnya. Lalu kamu ingin dekat dengannya).

"Oh, do you?" Lir Keningar menyesal telah bertanya.

(Oh, ya?)

Pasalnya alih-alih menjawab, Harya diam. Laki-laki itu justru meletakkan peralatan makan, bersandar pada kursi dan menatap kepadanya tanpa berkedip. Membuang pandang pada kaca restoran demi menyembunyikan nala aneh yang tersirat di wajahnya, Lir Keningar justru masih bisa melihat bagaimana Harya tak mengalihkan tatapan mata darinya barang sedikitpun dari pantulan kaca. Mereka sedang membicarakan Rakai dan Rania, bukan?

oooo

Orang-orang yang tinggal di ibukota pasti sudah tahu, ada beberapa orang kaya yang pulang-pergi dari kediaman ke gedung perkantoran milik mereka via helikopter setiap harinya. Termasuk Lir Keningar. Namun ini pertama kalinya, Lir Keningar duduk di kursi penumpang heli secara pribadi, mengelilingi Jakarta di malam hari hampir 30 menit lamanya. Menatap gedung-gedung pencakar langit dan gemerlap lampu-lampu perkotaan di bawah sana. Merelaksasi otak, mempercayakan sepenuhnya keselamatan pada kru yang berpengalaman dan tersertifikasi Departemen Perhubungan.

"Sudah lama gak keliling ya, mas Harya? Dulu sering, waktu awal-awal mas Harya bangun hotel-hotel baru di Anyer" pengemudi heli yang mengenalkan namanya sebagai Yamin menyuara dari cockpit.

"Iya, sekarang saya terlalu sibuk. Ini juga karena mau ngajak perempuan yang saya suka yang waktunya lebih mahal dari pembangunan hotel-hotel saya di Anyer itu" tawa Yamin di cockpit menggelegar.

Harya tak gentar dengan tatapan mendelik yang diberikan Lir Keningar padanya, mengambil sejumput rambut gadis itu dan merapikan ke belakang telinganya yang memerah. Semakin berani saja dia.

Safari usai, saat heli itu mendarat di atap salah satu hotel di bawah Powerhouse International. Lir Keningar melambaikan tangannya balik, saat heli itu mulai meninggalkan landasan. Terbang kembali ke tempat parkirnya di Tangerang. Dia menutup mata saat angin malam berhembus, membelai kasar wajahnya. Saat Lir Keningar membuka mata, Harya sudah berdiri di hadapannya. Menghalau angin dengan tubuh kokohnya, dan tangannya yang merapikan rambut keriting Lir Keningar yang sedikit berantakan. Menyesal karena menengadah, dan menemukan sorot mata Harya bagai mengurungnya dalam ketenangan yang mengancam. Lir Keningar merasa dia mulai goyah dan luluh. Dia tak melawan saat Harya semakin mendekat dan menunduk sejajar, menempelkan keningnya pada kening Lir Keningar. Dia membiarkan saja jari-jemari laki-laki itu bertautan erat dengan jarinya. Merasakan debaran hebat di dada Harya saat keduanya berbagi nafas, mengarungi manisnya nala. Sentuhan lembut tangan laki-laki itu pada lengannya, membuat sekujur tubuhnya gemetar. Lir Keningar merasa jantungnya akan meledak, saat mendengar geraman rendah dan lembut Harya di sela-sela ciuman mereka. Serasa melayang dan berputar saat kedua lengan laki-laki itu melingkari tubuhnya, ketat.

"I apologise for not getting your permission, Lily. I got carried away and couldn't help myself."

(Saya minta maaf karena tidak meminta izinmu terlebih dahulu. Saya terbawa perasaan dan tidak bisa menahan diri).

Butuh waktu sekian detik bagi Lir Keningar untuk sadar. Sentuhan lembut bibir Harya di cuping telinganya yang memanas diiringi bisikan lirihnya, mengembalikan akal sehat Lir Keningar yang sepertinya sempat tertinggal di helikopter.




Dug.

"Aaargh.. Lily, sepertinya tulang rusuk saya patah" Lir Keningar terperangah. Menatap nanar pada Harya yang memegangi perut yang menjadi sasaran tinjunya. Rasa malu, mendorong insting Lir Keningar untuk menyerang. Lakukan apapun itu, selagi bisa mengurangi rasa malu. Gadis pengacara itu membalik tubuh, berjalan cepat tanpa menoleh lagi ke belakang. Menuju pintu evakuasi yang ada di atap hotel.

"So, sue me!" teriaknya lantang kemudian menghilang di balik pintu. Tersisa Harya yang cuma bisa termangu, bingung.

(Tuntut saja aku!)

Right Person, Wrong Time.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang