Chapter|09

6.6K 850 37
                                    

"Komunikasi kita tidak buruk" berdiri di depan gerbang kecil rumah pensiunan Jenderal Wilalung, Harya menatap Lir Keningar yang sudah tak sabar untuk masuk. "Saya pikir, kamu bakal duduk makan dan diam saja. Gak mau saya ajak ngobrol. Bahkan mau dianterin ke rumah."

Harya mengedarkan pandang pada halaman rumah keluarga Lir Keningar. Rumah yang cukup sederhana tapi terlihat bersih, nyaman, hangat dan dipenuhi tanaman hijau yang asri. "I decided to be cooperative. Biar semua rasa penasaranmu segera terjawab. Drive safely. Aku akan mengabari nona Stefanie mengenai makan malam selanjutnya" Lir Keningar mengisyaratkan agar Harya segera masuk ke dalam mobil, pulang. Mengusir sehalus mungkin.

(Aku memutuskan untuk kooperatif).

"Okay. Good night, Lily. Dream of me, as I will dream of you."

(Baiklah, selamat malam Lily. Mimpikan saya, sebagaimana saya akan memimpikanmu).

Tawa Harya hampir pecah, melihat wajah Lir Keningar yang berubah horor. Harya suka itu, saat telinga gadis pengacara di hadapannya ini memerah perlahan. Sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Harya berbalik sekali lagi, sebelum tangannya mencapai pintu mobil. Namun suara sebuah vespa yang berhenti di depan mobilnya mengalihkan perhatian Harya. Seorang laki-laki muda, dengan tas ransel di punggung. Dengan cepat, Harya tahu dia adik Lir Keningar saat anak itu berteriak.

"Ibu.. Bapak, Mbak Lily diantar pulang pacarnya."

Saat Harya berbalik kembali menghadap Lir Keningar, dia sudah berubah tak ubahnya seperti banteng yang siap mengamuk.

oooo

"Kelihatan sedikit karatan, tapi ini masih berfungsi dengan baik" Jenderal Wilalung menunjuk senjata api yang menggantung di dinding ruang baca. "Senjata api tidak bisa dimiliki sembarangan di negara kita, tapi saya punya izin sebagai kolektor."

Harya tahu ini gertak sambal semata, tapi entah mengapa telapak tangannya mulai berkeringat.

"Mas Harya suka berburu tidak?" sontak mengangguk sopan, saat Jenderal Wilalung berbalik menghadapnya setelah sejak tadi berjalan di depan. Membanggakan koleksi senjata non-organik pribadinya.

"Sesekali pak, kebetulan kami punya tanah pribadi untuk hobi berburu."

"Ah, memang ada tantangannya? Hewannya paling banter kijang atau burung. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dulu saya bertugas di pedalaman hutan Kalimantan. Dibimbing langsung pemimpin suku Dayak. Biasa cari makan dengan berburu kalau sedang berada di hutan selama berhari-hari."

Dulu yang dimaksud Jenderal Wilalung, artinya puluhan tahun yang lalu. Di masa mudanya, sewaktu aktif sebagai anggota pasukan khusus. Harya memasang wajah terkagum-kagum, sebaik yang dia bisa. Beberapa kali menelan ludah kasar, penyuka olahraga tinju itu tak berkutik di hadapan mantan Jenderal bintang empat yang sudah menyicip pahit manisnya kehidupan ini.

Kedatangan Lir Keningar ke ruang baca, memperbaiki suasana cukup mengancam bagi Harya.

Sudah menanggalkan kemeja dan celana, diganti rok panjang berenda untuk bersantai dan atasan pendek motif floral yang manis. Gadis yang sudah segar bugar setelah mandi itu membawa nampan dengan teko berisi teh dan tiga buah cangkir kuno. Serta dua wadah kudapan.

"Duduk, mas. Minum teh dulu."

Mengekor langkah Jenderal Wilalung, Harya sempat melirik Lir Keningar yang menyeduh teh dengan tenang.

Right Person, Wrong Time.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang