Chapter|19

7.2K 842 32
                                    

Lir Keningar berjinjit, membenarkan letak topi dan kacamata hitam yang dipakai Harya. "Tidak ada yang mengenali saya, di sini..Lily" Harya mengedarkan pandang, yang dilihatnya pedagang kuliner, barang loak, sandal kulit, kopi eceran, pisau, hingga tanaman hias saja sejak tadi. Siapa yang akan mengenalinya di sini? "Just in case, pak" Lir Keningar menarik tangan Harya dalam genggaman, membawanya masuk ke dalam salah satu kafe di daerah Pecinan tersebut. Setelah menjajal lumpia basah, es doger, dan siomay di sepanjang jalan yang mereka lalui, Lir Keningar ingin mengakhiri pertemuan keempat mereka hari ini dengan secangkir kopi.

"Nanti kamu maunya pertemuan terakhir kita dimana pak? Kamu yang tentukan."

Harya melepas topi dan kacamata hitamnya, melempar pada meja.

"Are you really going to be fine if you never see me again?" Lir Keningar mengerjap lembut, menatap Harya yang memasang muka datar dan serius di hadapannya.

(Apa kamu akan baik-baik saja jika tidak pernah lagi melihat saya?)

"Seharusnya baik-baik saja kan? Selama aku gak pernah lagi sengaja muncul di hadapan kamu, pak. Kamu juga gak muncul di hadapan aku. Di sini aku yang rugi loh, aku bisa kapan saja lihat muka kamu di majalah, televisi, di billboard. Seharusnya lebih mudah buat kamu, aku bukan public figure yang fotonya mampang di mana-mana."

"In case you forgot, terakhir kali yang dimuat di berita itu kamu..Lily" Lir Keningar menggigit bibir. Benar juga, sih.

"Itu sih kamu yang sengaja nyari berita tentang aku, pak. Kalau gak juga gak bakal tahu. Masa iya kamu, direktur utama Powerhouse International bacanya Harian Solo, bukan Wall Street Journal, The Economist, atau Financial Times. At least Jakarta Post kek. Kalau itu berita mas Bumi mungkin.." Lir Keningar tak melanjutkan kalimatnya, sebab Harya mengirimkan isyarat diam. Meletakkan jari telunjuknya di bibir. Bau-baunya dia ingin menyelah.

"He is mas, and I am pak?" Harya menekuk kening, terlihat tersinggung sekali. "Bisa gak kamu kalau diajakin ngobrol, yang dicerna itu inti pembicara kita. Bukan hal remeh-temeh gitu" Lir Keningar tak sabar lagi.

"Jadi gimana? Kamu maunya pertemuan terakhir kita dimana, mas?" melihat tanda-tanda kekesalan yang akan berujung pada pembicaraan yang gagal, Lir Keningar akhirnya menuruti permintaan Harya.

Harya tak tahu harus bereaksi bagaimana?
"Kamu gak pernah dan akan berpikir yang sebaliknya, Lir Keningar? Wanting to start over our relationship? Because, I do."

(Keinginan untuk memulai hubungan kita? Karena saya ingin).

"Jadi kamu akan baik-baik saja, seandainya ditentang keras keluargamu? Diusir, dicoret dari KK, kehilangan warisan, diturunkan dari jabatan, dicekal dalam karir dimana-mana oleh keluarga sendiri. Kehilangan relasi yang selama ini kamu bangun."

Lir Keningar mengulurkan tangan kanannya, mengurai jari-jari Harya yang hampir mengepal kuat-kuat di atas meja. Dia menggenggam tangan Harya, tersenyum manis saat yang keluar dari bibirnya hanya fakta-fakta pahit. "Is it possible for you to live without your wealth and power? Will it be enough, having me in your life while live modest and humble? Have less, need less."

(Apa mungkin buat kamu hidup tanpa kekayaan dan kekuasaan? Apakah cukup, ada aku dalam hidupmu lalu hidup sederhana dan biasa-biasa saja? Sedikit yang kita miliki, sedikit yang kita butuhkan).

"Bagiku, itu seperti utopia."

Lir Keningar memasang wajah yang tak kalah serius. Membalas pertanyaan Harya dengan pertanyaan tandingan yang sudah dia siapkan sejak awal mereka bertemu.

"Kamu meremehkan perasaan saya buat kamu, ya?" Lir Keningar menggeleng kecil.

"Aku cuma mau kita realistis."

Right Person, Wrong Time.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang