"Maaf, kalian naik lift yang selanjutnya."
Ronan dan Rania bertukar pandang, tercengang saat Harya menyusul langkah-langkah mereka yang belum jauh dari ruang kantornya. Meraih tangan Lir Keningar dan menyeretnya masuk ke dalam lift. Gadis itu masuk tanpa perlawanan. Tak menunggu jawaban, Harya menekan tombol dan lift itu meluncur turun ke lantai satu gedung Powerhouse International. Saat menoleh ke belakang, Ronan dan Rania menemukan Kevin sedang melonggarkan dasinya, kepalanya menggeleng frustasi atas kelakuan kliennya. Sedangkan Stefanie yang berada di sana mengipasi wajahnya dengan tangan.
"I am fascinated that you're being so obedient." Harya menatap bergantian wajah Lir Keningar yang santai dan tangan gadis itu yang masih dalam genggamannya.
(Saya takjub karena kamu menurut sama saya).
Lir Keningar yang sejak tadi menatap ke depan, menyerongkan wajahnya. "Kamu gak lihat ya, sepelan apa aku berjalan keluar dari kantormu? Aku sudah menduga kok."
Bunyi pintu lift yang membuka, sejenak mengalihkan atensi Harya dari jawaban tak terduga dari Lir Keningar.
"Naik lift yang selanjutnya."
Harya menekan kembali tombol hingga pintu lift menutup sempurna, mengabaikan tatapan heran beberapa karwayannya yang juga hendak turun. Mereka tak pernah menemukan direktur utama Powerhouse International menggandeng tangan perempuan, terlebih tidak saat beberapa hari yang lalu pernikahannya gagal dilangsungkan dan perusahaan mereka terkena imbas skandal calon istri dan bisnis tambang keluarganya yang sampai saat ini semakin memanas. Powerhouse International pun masih berbenah dari kekacauan itu. Hal yang kurang lebih sama terjadi saat mereka melewati lobby, hingga masuk ke dalam Rolls Royce yang sudah siap di depan pintu utama gedung Powerhouse International.
"Apa yang bisa saya simpulkan dari semua ini, Lily?"
"Banyak, kalau kamu beranggapan aku yang menyusun ini semua. Pertama aku melakukan hal kuno yang aku pelajari dari seseorang dan ternyata itu masih efektif. Kedua, kamu pikir setelah dua setengah tahun berlalu aku dengan bodohnya percaya perasaan kamu padaku masih sama sehingga membatalkan pernikahan kalian akan membawa sesuatu yang baik untukku. Aku gak tahu kalau kamu semudah itu percaya pada media, padahal kamu satu di antara yang suka memanipulasi berita. Kamu gak pernah berpikir ya, pak kalau berita tentangku bisa jadi juga manipulasi?"
Harya menggigit bibir, menyalurkan rasa gelisah sejak bertemu kembali dengan Lir Keningar. Dia masih suka mengkritik. Lir Keningar benar, bagaimana mereka saling melewatkan satu sama lain saat itu bukan semata kesalahan waktu. Mereka ragu.
"Kamu mengelak? Jadi bukan kamu?"
Lir Keningar memilih tak langsung menjawab, menengok jam tangan yang melingkar di pergelangannya.
"Kamu pikir saja sendiri."
"Lir Keningar."
"Turunin aku di depan. Kamu gak mau kan berlama-lama dengan orang yang membatalkan pernikahanmu? Lagipula aku ada janji menonton penampilan Justin sore ini" Harya memejamkan mata, sekilas sebelum mempercepat laju mobilnya.
"Turunin gak?" Harya menulikan telinga.
Lir Keningar mulai gusar, segala ketenangan yang disusunnya di hadapan Harya mulai runtuh sedikit demi sedikit. Wajah lamanya mulai nampak. Ponselnya berdering nyaring, beradu mesra dengan debar jantungnya yang mulai berdentam hebat. "Jangan diangkat."
Lir Keningar merogoh ke dalam tas kerjanya, mengabaikan larangan Harya. Atau jika boleh jujur, Lir Keningar ingin tahu apa yang akan dilakukan Harya saat dia menerima panggilan telpon dari Justin sekarang juga? Tubuhnya sedikit terhempas saat Harya membelok kasar, dan mengerem mendadak berhenti di depan sebuah rumah kopi antik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right Person, Wrong Time.
RomanceThe crossing of path between two who may not end up together. Right Person, Wrong Time. *Disclaimer: Setiap karakter dalam cerita ini fiktif, tidak mengacu maupun terinspirasi dari tokoh manapun. Latar belakang budaya-sosial Pura Mangkunegaran atau...