Lir Keningar meraih tas ransel milik si kecil berusia belum genap tiga tahun di jok belakang saat gerbang kediaman keluarga suaminya membuka otomatis. Harya membawa Asmoro Jiwo Rupadi, dalam gendongan. Anak laki-laki pertama mereka yang namanya dipilih oleh Jenderal Wilalung. Artinya, anak laki-laki tampan yang jiwanya penuh cinta. Kebetulan sekali nama keluarga ayahnya memiliki arti yang cocok dengan dua kata pertama pilihan sang eyang. Menurut bapak, Asmoro Jiwo adalah manifestasi dari cinta kedua orang tuanya yang membara. Dia datang saat mereka baru tiga bulan menikah. Harya sangat menyukai nama itu, sedang Lir Keningar hanya bisa berpikir bagaimana kelak dia akan menceritakan arti namanya saat Jiwo sudah dewasa? Tergopoh-gopoh, kepala asisten rumah tangga keluarga Rupadi mengambil Jiwo dari gendongan ayahnya.
"Eh, den Jiwo.. Oma dan opa sudah nunggu lama" ucapnya.
Perempuan itu juga menerima tas ransel dari Lir Keningar. Lalu masuk kembali. Manik cerah Lir Keningar jatuh pada pemandangan di dalam sana dari balik gerbang. Ibu mertuanya, senyumnya amat merekah saat menerima Jiwo dalam gendongan. Menciumi pipi dan puncak kepalanya penuh asih. Lalu pintu gerbang kembali menutup otomatis. Meninggalkan Harya dan Lir Keningar di luar sana.
Harya berdeham, tiba-tiba saja sudah melingkari tubuh istrinya dari belakang.
"Selagi Jiwo gak di rumah, saya sudah ada rencana bagus. Mau dengar gak?" Lir Keningar mendelik. Menggeleng berkali-kali.
"Gak tertarik" seraya menarik suaminya kembali masuk ke dalam mobil.
"Saya berencana punya enam anak, sayang."
"Dikira aku kucing bisa lahirin enam anak. Gak ada! Dua cukup."
Harya terkekeh lirih.
"Mas.. Berhenti di mall depan sana ya. Aku mau cari hadiah ultah buat si kembar. Kemarin waktu ngantar undangan, mereka nangis soalnya Jiwo gak di rumah" Lir Keningar tertawa kecil, mengingat si kembar cewek anak Kyomi dan Gesang. Mereka sangat menyukai Jiwo. "Jiwo punya karisma dan pesona cowok brondong, kayak pak lik-nya hon."
Harya ikut tertawa.
Lir Keningar mendengkus, yang benar saja. Bayangkan setertekan apa Rania mengurus Rakai selama ini setelah mereka menikah? Namun ya, Lir Keningar merasa usia memang cuma angka. Buktinya, suaminya sendiri sudah 40 tahun tapi kelakuan dan manjanya tak kalah dari si anak pertama.
Benar kata orang bahwa semanja-manjanya anak kita, masih lebih manja anak mertua.
Panggilan telpon dari Stefanie yang nampak di layar, menghentikan percakapan mereka.
Selagi Harya bicara dengan sekretarisnya, Lir Keningar mengisi alam pikirannya dengan cerita-cerita yang dibawa Kyomi ke rumah sewaktu mengantarkan undangan ultah si kembar. Kyomi bercerita mengenai Sherlina Wibicaksono, yang dia temui di Bali. Setelah bisnis tambang keluarganya mangkrak.
Sherlina tinggal di Bali, menurut penuturan Kyomi dia masih berlagak seperti nona kaya raya dengan memperjual-belikan tas-tas branded palsu dan imitasi. Korbannya, sudah tak terhitung jumlahnya.
Apa Lily menyesal, karena seolah menjadi alasan kehancuran keluarga Wibicaksono dan Sherlina? Tentu tidak. Lir Keningar tidak akan bersembunyi di balik obligasi moral, seolah apa yang dia lakukan semata untuk mencari keadilan bagi korban Sherlina. Tidak. Lir Keningar melakukan itu semua semata untuk mendapatkan Harya. Harya adalah alasan utama. Bapak benar, he is the right person. Lily menemukan jawabannya. Tidak ada yang namanya Right Person, Wrong Time. Jika dia orang yang tepat, tapi waktu dan keadaan tidak mendukung. Bukan malah melepaskan, tapi perjuangkan.
Apa dia merasa bersalah pada Sherlina dan keluarganya? Tidak.
Saat Sherlina masih bisa mengelak dari hukum dan pengadilan, saat kasusnya dilupakan orang-orang, saat dia masih hidup dengan melakukan kesalahan-kesalahan. Anak laki-laki itu, korbannya kini hanya tinggal pusara. Meninggalkan kedua orang tuanya yang miskin dalam duka lama. Dan mungkin saja ada banyak korban lain di luar sana. Lantas kenapa Lir Keningar harus merasa bersalah? Lir Keningar memang menyalakan api, tapi dia tidak menambahkan kayu dan menuang bensin. Keluarga itu hancur karena ditinggalkan kroni-kroninya. Tiap pihak mengambil kesempatan yang ada, mengambil keuntungan masing-masing dari kehancuran mereka. Instansi BUMN yang bersengketa dengan mereka, mengajukan banding dan akhirnya menang. Penggiat lingkungan mendesak pemda dan pemerintah pusat menghentikan tambang liar mereka.
Demikian lah api unggun kecil yang Lir Keningar nyalakan, lalu membakar habis seluruh hutan belantara.
oooo
Lir Keningar mendesah manja, matanya yang berkabut menatap bagaimana Harya bergerak liar di atas sana. Mereka berpacu dalam gairah, peluh dan geraman nikmat beradu sempurna di atas ranjang mereka. Perempuan itu menggigit bibir bawah, saat suaminya mulai menggodanya. Memperlambat tempo, menjadikan istrinya di bawah mengerang tak sabar. Menciumi sekujur tungkainya yang bertumpu pada pundak Harya. "Mas Harya.." Lir Keningar merengek tak tahan. Sesuatu ingin melesak keluar, membuncah di bawah sana.
Menurunkan dua kaki istrinya, laki-laki itu mendekat dan membungkam bibir istrinya dengan pagutan mesra. Geraman rendahnya terdengar seksi di telinga.
Gerakannya gusar, dalam dan menggelora. Hasrat keduanya meronta-ronta.
Lir Keningar tahu ini akan terjadi, setelah seharian menghindari rengekan suaminya. Di jam dua, mereka masih bergelung dalam lautan cinta untuk yang ketiga kalinya. Jamu racikan ibu, tak akan bisa mengimbangi tenaga kuda suaminya. Lir Keningar harus lebih sering lagi berolahraga.
"Mas.. Har..ya" teriakan Lir Keningar sekali lagi dibungkam Harya. Tubuh Lily yang bergetar hebat luruh dalam pelukannya. Senggama mereka diakhiri dengan ciuman mesra, menuntaskan gairah yang tersisa. Surut, hingga lelah mulai menerpa.
"You know what, sayang? More kids more warisan."
Harya tertawa geli karena istrinya mendelik, mengelap dahinya dan anak-anak rambut yang lekat di muka karena keringat. "Aku ngirim Jiwo ke rumah mama dan papa agar mereka senang. Bukan mau morotin harta."
"Kamu gak sedih, mama cuma nerima Jiwo tapi gak kita?" Harya bertanya, seraya mengulurkan tangan pada tisu di cabinet, lalu membersihkan paha istrinya.
"Tentu saja bohong kalau aku gak sedih, mas. Tapi aku senang. Paling tidak, Jiwo bisa membahagiakan mama dan papa. Kamu saja yang jujur mas. Kamu pengen banget kan masuk rumah? Setiap kali ke sana, aku lihat kamu celingukan ke sebelah kanan rumah. Later I know, there is a place where you parked your cars."
(Kemudian aku tahu, di sana tempat kamu parkir mobil-mobil kamu itu).
Harya mengerang rendah, menengadah menatap langit-langit kamar mereka.
"I miss my Rolls Royce, My Porsche, My Aston Martin, My Bugatti, My Ferrari, my.." Harya menjeda, melirik istrinya yang menggigit bibir bawah. Menggemaskan setengah mati, semakin awut-awutan semakin terlihat cantik dan seksi. "Still, I'd rather ride you than drive any other cars" Lir Keningar membalik badan, apa dia hajar saja suaminya, mumpung Jiwo tidak sedang di rumah?
(Saya rindu Rolls Royce, Porsche, Aston Martin, Bugatti, Ferrari..dan. Tapi, saya tetap akan lebih pilih menunggangimu dari pada mengendarai mobil manapun).
Tawa Harya pecah di belakang sana. Laki-laki itu beringsut, melingkari perut telanjang istrinya. Membubuhkan kecupan-kecupan di punggung dan lehernya sebelum membungkus Lily dalam selimut. "Lilyku, jimat keberuntungan dan kehormatanku" bisikan lirih Harya masih terdengar di akhir-akhir kesadaran Lir Keningar.
-Right Person, Wrong Time-
Dear everyone, terima kasih sudah membaca Right Person, Wrong Time. Terima kasih sudah menjadi saksi cinta Lily dan Harya.
Sampai jumpa lagi di cerita saya yang selanjutnya.
Best regards,
Hain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right Person, Wrong Time.
RomanceThe crossing of path between two who may not end up together. Right Person, Wrong Time. *Disclaimer: Setiap karakter dalam cerita ini fiktif, tidak mengacu maupun terinspirasi dari tokoh manapun. Latar belakang budaya-sosial Pura Mangkunegaran atau...