Chapter|11

6K 725 20
                                    

"Menyatakan bahwa saudara Hengky Perdana terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan seksual dan kekerasan psikis. Pidana penjara terhadap terdakwa Hengky Perdana selama 10 (sepuluh) tahun 5 (lima) bulan dikurangkan selama terdakwa berada dalam tahanan sementara."

Lir Keningar dan Ronan Widjayanto, keluar dari ruang persidangan setelah mendengar putusan hakim. Keduanya bertukar senyum, puas dengan putusan hakim yang memenangkan klien mereka. "Nasib baik berpihak pada kita, mbak Lily" Lir Keningar manggut-manggut, sepakat. Rasa-rasanya mereka tak mungkin bisa memenjarakan Hengky Perdana, anak pejabat tinggi kepolisian jika bukan karena kasus penyalah-gunaan kekuasaan dan suap yang menjerat bapak anak itu mencuat di media hingga menyita perhatian seluruh rakyat Indonesia dan bahkan presiden.

Tidak salah jika dikatakan kemenangan mereka merupakan domino effect dari penangkapan bapak Hengky Perdana. Ini bisa terjadi di negeri, di mana hukum disetir oleh segelintir orang-orang yang berkuasa. "Ngomong-ngomong, mbak Lily setuju dengan permintaan tim kemenangan Gusti Bumi untuk menjadi timses dan penasihat hukum beliau tidak? I don't want to put pressure on you, mbak tapi saya rasa itu akan memberi exposure besar untuk firma hukum kita. Sudah waktunya kita bergerak, dari menangani cuma kasus perceraian dan sengketa per-orangan. Kita harus bisa menjadi tim lawyer perusahaan global."

"Saya juga ingin memberi mbak Lily dan Rania income yang stabil."

Lir Keningar tiba-tiba teringat undangan makan malam dari Gusti Nilam, yang berniat mengenalkan dirinya pada Gusti Bumi. Terakhir kali rencana itu gagal, karena Gusti Bumi tiba-tiba ada agenda lain. "Saya pikirkan lagi, ya pak."

Ronan Widjayanto mengangguk paham.

oooo

Loose Dress brokat sederhana berwarna ivory yang Lir Keningar kenakan malam ini adalah hasil jahitan ibunya, RA Hemas Darmastuti saat perempuan yang gemar menjahit itu tak menemukan satu pun baju yang proper untuk anak gadisnya. Memadankan dengan satu-satunya stiletto yang dia punyai di lemari sepatu, dengan rambut keritingnya digerai. Turun di lantai 6 hotel Ritz Carlton, Lir Keningar dapat melihat kakak beradik yang mengundangnya sudah duduk di meja restoran mereka.

Langkah kaki Lir Keningar yang tadinya gancang, sontak memelan. Saat maniknya menangkap sosok lain di meja seberang tepat seharusnya dia duduk. Seolah takdirnya berputar-putar di situ saja, perjumpaan dengan Harya Anindito Rupadi tak dapat terelakkan. Tepat saat gusti Nilam menyerukan namanya, Harya ikut menoleh hingga tatapan mata keduanya berbenturan.

"Ini Bumi, Ly. Kamu pasti sudah tahu walaupun belum kenal. Akhir-akhir ini fotonya mampang terus di berita kan?" menampik nala asing di dadanya saat tiba-tiba bertemu kembali dengan Harya, Lir Keningar menangkupkan tangan sebelum menjabat tangan Gusti Bumi Bhra Wijaya saat kakaknya mengenalkan mereka.

"Silakan duduk" menganggukkan kepalanya ringan, saat gusti Bumi mempersilakan dirinya duduk.

"Ini Lily, putrinya RA Hemas Darmastuti dan Jenderal Wilalung Mangkoedihardjo. Mbak pernah nunjukin rekaman waktu Lily nari di ultah mbak loh. Ingat kan? Waktu itu mbak jadi pengen belajar tari tango juga" gusti Bumi mengangguk-angguk, senyuman lembut tersungging di bibirnya. Membenahi letak kacamatanya, lalu berseloroh.

"Mbak kurusan dulu kayaknya baru bisa nari tango seperti Lily."

"Dih, Bumi ini gitu Lir" gusti Nilam memprotes. Lir Keningar ikut tersenyum dengan canda akrab kakak beradik di hadapannya. Katakanlah mereka punya status sosial tinggi, tetap saja tak beda dengannya dan Rakai di rumah.

"Tari tango bisa dilakukan siapa saja, gusti" Lir Keningar ikut menanggapi.

"Secara gak langsung, Lily setuju sama saya kalau mbak kurang kurus loh."

Right Person, Wrong Time.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang