Chapter|12

6.5K 759 32
                                    

Lir Keningar bergegas masuk, menahan diri agar tak menggerutu saat Koenigseeg arctic white di depannya mulai diklakson mobil-mobil di belakang. Juga perhatian beberapa orang yang menunggui taksi mulai tertuju seutuhnya padanya. Gila saja. Lir Keningar tahu Harya punya banyak uang. Tapi dia berganti mobil sesering orang lain berganti celana dalam kah? "Dasar tukang maksa" Lir Keningar menghardik laki-laki itu setelah mobil melaju. Harya bungkam sesaat, berkonsentrasi pada jalan karena macet mulai makin parah di depan sana.

"Paling tidak, saya tidak ingkar janji."

"Pemarah."

"Pembohong."

Lir Keningar menggigit bibir kasar, mendelik pada Harya yang kebetulan melihatnya sekilas. Saling lempar kata ejekan yang keluar dari mulut mereka berjeda.

"Don't stare at me with those eyes."

(Jangan melihat saya seperti itu).

"Kenapa? Aku seram kan kalau lagi marah? Siapa suruh maksa aku naik? Bear with it."

"I might want to kiss you."

(Saya jadi ingin menciummu).

Lir Keningar membuang muka, masih bisa mendengar Harya yang bergumam samar tanpa melihat padanya.

"Tuhan, apa sebaiknya Lir Keningar lompat saja ya? Apa Harya lupa Lir Keningar anak siapa? Apa dia tidak takut dengan bedil-bedil Jenderal Wilalung yang menggantung di ruang baca? Apa Harya tak ingat bagaimana Lily mode ngamuk? Terakhir kali jelas-jelas dia saksi utama bagaimana Rakai mengalami kekerasan fisik dan psikis kan? Ataukah laki-laki ini benar-benar sudah gila?"

oooo

"Tim gusti Bumi di Solo beranggapan kalau kita melaporkan tindakan mahasiswa, kesannya beliau ini anti kritik. Kritik itu kan hak demokrasi setiap orang" Ronan menyampaikan pesan tim pengacara calon walikota Solo itu pada Lir Keningar dan Rania di lantai bawah.

"Halah, hak demokrasi kok malah anarkis. Saya lebih setuju kalau mereka dilaporkan pasal pencemaran nama baik, biar tidak berlindung melulu di balik hak demokrasi. Sekalian kita bisa tahu, apakah itu benar-benar penyaluran hak demokrasi mereka ataukah pesanan dari pihak incumbent?"

Lir Keningar mengangguk-angguk, setuju dengan pendapat Rania. "Nanti saya sampaikan pribadi pada gusti Bumi saja, pak. Kita harus mempertimbangkan pula gaya kampanye dengan ideologi beliau. Rasanya tidak bijak menciptakan bom waktu, bersikap seolah toleran pada serangan tapi sewaktu menjabat malah terindikasi upaya-upaya membungkam mereka. Lebih baik menurut saya, beliau tegas dan ajeg menunjukkan sikap sejak dari kampanye" mengakhiri diskusi mereka, karena hampir tiba waktu jam makan siang. Ronan harus berangkat ke pengadilan.

"Oke, lebih baik mbak Lily lah yang ngobrol langsung dengan gusti Bumi."

Lir Keningar mengulas senyum, membereskan berkas-berkas. Begitu pun Rania, yang siang ini harus mendampingi klien mereka memenuhi surat panggilan penyelidikan dari kepolisian.

"Oh ya hampir lupa" Ronan tak jadi naik ke kantor pribadinya. "Kenal Margaretha, pengacara dari COPR.S kan? Masa iya dia tanya memang siapa backing kita? Bisa-bisanya menumbalkan pejabat tinggi kepolisian buat nangkap anaknya.

"Maksudnya, pak?" Rania pun mengerutkan kening. "Iya dia bilang, sudah jadi perbincangan hangat di kalangan kita kalau Hengky Perdana itu tertangkap bukan karena kasus bapaknya, tapi kasus bapaknya yang dimunculkan di media buat mempermudah menangkap dan menjerat si Hengky ini" tawa Ronan berderai, kepalanya menggeleng tak percaya.

"Ngaco" Rania ikut tertawa.

Lir Keningar termangu, mengingat-ingat awal mula kegemparan kasus penyalah-gunaan kekuasaan dan suap-menyuap seorang Irjen Polisi bintang dua. Awalnya berita tersebar lewat media sosial, video-video singkat pertemuan sang perwira dengan beberapa orang berkepentingan. Lalu kasus melebar pada pengakuan mantan pekerja rumah dan sopir, mengenai kunjungan-kunjungan orang-orang yang terjerat kasus besar seperti penyelundupan narkoba ke rumah majikannya. Berita mulai memanas saat kesaksian anonim bahkan menyebutkan indikasi layanan seksual bagi sang Irjen. Beberapa bulan itu, media dipenuhi dengan skandal keluarga mereka hingga kemudian gaya hidup liar dan berfoya-foya Hengky Perdana ikut terseret.

Atensi Lir Keningar teralihkan saat Rania menepuk punggungnya, "janjian makan siang sama siapa, Ly? Akhirnya resmi ya?" Lir Keningar abai, membereskan kembali berkas-berkas di meja. "Bukannya kamu Ran, yang sudah resmi?" celetukan Ronan yang menyeduh kopi pada tumblr mencuri perhatian Lir Keningar, terlebih karena muka Rania yang cengengesan mulai berubah salah tingkah. "Saya ketemu Rania, candle light dinner gitu mbak sama cowoknya waktu merayakan anniversary sama istri."

Lir Keningar menyipitkan matanya, Rania jelas-jelas berusaha tak terjebak dengan bungkam seribu bahasa. "Nah, makanya saya kadang amaze sama dedikasi kalian. Padahal ada yang nunggu ketemuan, kok malming seringnya Rania masih nginep di rumah mbak Lily buat lembur nyusun pledoi. Saya sih bersyukur, cuma takutnya kalau putus nanti ikut disalahkan loh."

Ronan naik dengan tawa berderai setelah membongkar rahasia Rania. Untuk beberapa waktu, Rania dipastikan rehat dari kebiasaannya yang kepo dengan urusan Lir Keningar. Apalagi untuk urusan asmara, dia lebih kepo dari pada bapak dan ibunya sendiri yang seharusnya sudah menginginkan calon menantu seperti orang tua kebanyakan di luar sana. Nampaknya, Rania akan takut menjadi bumerang. Jika Lir Keningar balik menanyakan urusan asmara gadis Betawi tersebut. Baguslah!

"Ly, aku berangkat dulu ya."

Lir Keningar mengekor langkah Rania yang terkesan buru-buru dengan tatapan penasaran hingga notifikasi pesan masuk pada ponselnya menyita perhatian.

"Iya, sabar" Lir Keningar masuk ke dalam Mercedes Benz yang terparkir di depan firma hukumnya dengan sedikit memprotes. "I gave you permission to decide the place¹, harusnya sabar dikit bisa kan?" Harya Anindito Rupadi memasang wajah datar, melempem saja saat Lir Keningar mencercanya. "Mau makan di mana?" Lir Keningar kembali membuka percakapan saat mereka sudah berkendara lama. Padahal di sekitar kantornya banyak restoran mewah yang cocok dengan Harya.

(Aku memberi kamu izin untuk menentukan tempatnya kali ini.)

"Bandara."

Lir Keningar tak pelak ternganga.

"Dimana?" mengulang sekali lagi pertanyaannya, mungkin dia salah dengar.

"Bandara, Lily. Kamu gak salah dengar. Makanya kita harus buru-buru. Saya harus terbang ke Singapore hari ini, kemungkinan tiga hari baru balik Jakarta. Saya maunya puas-puasin lihat kamu sebelum berangkat. Makanya kita makan siangnya di Bandara. Am I making myself clear?" Lir Keningar ingin teriak "no" sekeras mungkin, tapi mulutnya cuma bisa menganga lebar.

"Itu namanya menyusahkan diri sendiri, kalau sibuk ya sudah ditunda kan bisa makan barengnya."

"Jangan pura-pura gak dengar, saya kan sudah bilang. Saya pengen lihat kamu."

"Make yourself efficient, prioritize your responsibility. Aku yakin pernah baca ini di sebuah plakat di kantor Powerhouse International."

(Utamakan efisiensi, prioritaskan tanggung jawab).

Harya tertawa kecil, ujung matanya melirik Lir Keningar yang duduk anteng di kursi penumpang di sampingnya. Sedikit menyerong hampir membelakangi Harya.

"I did, before I have filled my head with someone. Now sit straight, let me steal a glance at you.. Lir Keningar."

(Iya, dulu saya begitu sebelum saya mengisi kepala ini dengan seseorang. Sekarang, duduklah yang lurus. Biarkan saya mencuri pandang kepadamu, Lir Keningar).

Alih-alih patuh, Lir Keningar duduk semakin menyerong. Tangannya sontak melepas ikat rambut, menutupi daun telinganya yang terasa panas. Ini Mercedes Benz kan? Bukan Angkot, kenapa gerah sekali sih?

Right Person, Wrong Time.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang