Chapter|15

6.3K 767 48
                                    

"Pripun, dek Lily?" Lir Keningar mengulas senyum hangat, melanjutkan obrolan dengan gusti Bumi setelah laki-laki itu mengantongi ponselnya. Membicarakan elektabilitas yang tinggi, gaya kampanye yang luwes dan konsistensinya selama ini.

"Saya pikir konsistensi, hal paling penting bagi politikus..mas" agak canggung Lir Keningar menuruti permintaan gusti Bumi untuk memanggil 'mas' saat cuma berdua agar obrolan mereka tidak kaku. "Saya yakin, menjadi walikota Solo bukan satu-satunya tujuan akhir mas Bumi dalam kancah perpolitikan Indonesia. Panjenengan masih muda, karir politiknya masih panjang. Saya menyarankan konsistensi, baik sikap maupun ucapan. Terlebih ideologi. Suatu saat, itu akan berguna saat mas Bumi menjajal panggung politik yang lebih besar. Masyarakat akan melihat sekonsisten apa panjenengan sehingga mereka bisa mempercayakan suara mereka" gusti Bumi balas tersenyum, tatapannya hangat dan tenang. "Saya senang, Lir. Kamu mengerti yang saya mau" mereka berbagi tawa, seolah sama-sama paham, setinggi dan sebesar apa panggung politik yang ingin dijajal gusti Bumi di masa depan? "Kamu dampingi saya terus, ya. Sampai saya di sana."

Lir Keningar terperangah, sebelum kemudian mengangguk yakin saat gusti Bumi menunjuk arah barat.

"Di sana keras, mas. Panjenengan butuh pasukan yang kuat" tawa gusti Bumi pecah.

"Apa itu Ly, yang dibutuhkan selain ini? gusti Bumi menjentikkan tangannya, mengisyaratkan kata 'uang'.

"Story, mas. Kita butuh sebuah story."

"Story."

Gusti Bumi manggut-manggut, tersenyum lembut sembari membenarkan letak kacamatanya. Obrolan keduanya berjeda saat pelayan restoran menyajikan hidangan utama, Dendeng Age. Makan siang bersama sebelum Lir Keningar kembali ke Jakarta setelah dua hari di Solo. Setiap hidangan yang disajikan di sini, sudah dikurasi langsung oleh Mangkunegara X. Romo gusti Bumi yang masih menjabat. Hidangan-hidangan khas Pura Mangkunegaraan yang disajikan dengan presentasi yang modern.

oooo

Ingin bersantai dan menghemat uang, Lir Keningar berangkat siang hari dari Solo dengan kereta api. Notifikasi muncul di layar ponselnya, dari Rania. Lir Keningar mengernyit. Sudah lama Rania tak mengirim pesan pribadi dengan emoticon-emoticon/GIF lucunya kecuali masalah pekerjaan, gara-gara hubungan pertemanan mereka yang berubah canggung. Saat Lir Keningar membuka pesan, Rania melampirkan link berita dari Harian Solo. Tak ayal, fokus Lir Keningar tertuju pada laman berita yang mengulas tentang kehidupan asmara gusti Bumi. Dan ya, tokoh utama perempuan di berita itu tak lain adalah dirinya sendiri. Lir Keningar Mangkoedihardjo. Bukan kekasih sebenarnya sang calon walkot, gadis blasteran Jawa-Inggris itu. Foto-foto dirinya yang mendampingi gusti Bumi blusukan, kebersamaan mereka saat makan siang yang didramatisasi. Seolah-olah mereka begitu mesra di mata media. Padahal, yang sebenarnya mereka bicara adalah politik, politik, dan politik. Strategi, strategi, dan strategi setiap kali bertemu.

Lir Keningar mengerang frustasi, saat membaca kalimat, "Pura Mangkunegaraan menolak memberikan pernyataan resmi mengenai hubungan asmara gusti Bumi, menganggap itu privasi Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Bumi Bhra Wijaya dan perempuan yang sedang dekat dengannya. Pura Mangkunegaraan akan mengadakan konferensi pers, berbagi kebahagiaan dengan media dan masyarakat jika kelak ada berita gembira mengenai pernikahan gusti Bumi."

"Lily, ini bener gusti Bumi mau jadiin kamu crown princess gitu? Bukan cuma lawyer?"

Tuhan, apa Rania juga minta dihajar ya? Apa Rania sedang memancing perang dunia III dengannya ya? Lir Keningar melempar kembali ponsel dalam tasnya, kereta apinya hampir tiba di stasiun tujuan akhir. Membereskan barang-barang, Lir Keningar bersiap-siap turun. Lir Keningar geram bukan main, laman berita sekarang tak ubahnya tabloid gosip. Dibandingkan menulis tentang gagasan kota pusat budaya atau pengembangan UMKM yang dicenungkan gusti Bumi, mereka malah menulis spekulasi-spekulasi ngawur mengenai calon permaisurinya. Lebih-lebih mereka salah sasaran pula. Krisis kredibilitas, sungguh. Niat awal menghemat ongkos diurungkan, Lir Keningar memilih taksi. Batinnya yang lelah, tak akan sanggup jika ditambah tekanan saat menaiki KRL dan berdesak-desakan dengan orang banyak.

Lir Keningar menghela nafas panjang, tak langsung turun saat menemukan mobil sport yang familier parkir di depan rumahnya di jam sekian. Dan Harya yang duduk menyandar dengan dua tangan di dalam saku. "Bagus! Yang dicuri perhatian, pikiran, hati, waktu dan bibir saya. Tapi janjian nikahnya dengan orang lain" oh here we go.

Lir Keningar menyambar lengan Harya, mendorong masuk tubuh laki-laki itu ke dalam Aston Martin sebelum bapak/ibu keluar. "Jalan!" perintahnya sengit kemudian. "Kamu gak sibuk ya? Jam segini masih di depan rumah orang" Harya memberenggut dengan ketidak-ramahan Lir Keningar.

"Yakin mau lihat schedule saya? Sana tanya Stefanie. Saya juga gak hafal hari ini atau besok harus kemana dan ketemu siapa karena terlalu ribet dan padatnya."

"Saya lagi demam, Lily. Sini periksa sendiri kalau gak percaya" Harya mengulurkan tangan hingga bisa menggenggam tangan Lir Keningar. Lalu menolak keras untuk melepaskannya saat Lir Keningar menarik balik tangannya. Senyum usil Harya terpatri di bibir saat Lir Keningar mendengus kesal, pasalnya itu akal-akalan Harya saja agar Lir Keningar tak menolak genggaman tangannya. Tangan laki-laki itu sehangat biasanya, tapi dia sehat-sehat saja.

"Tukang tipu."

"Suka selingkuh."

Wait, apa katanya? Selingkuh? "Bapak Harya, mungkin anda sudah lupa bahwa yang sudah punya tunangan di sini anda loh."

"Sampai detik ini saya belum resmi menjadi calon suami siapapun. Tidak seperti seseorang, yang minggu kemarin menguasai bibir saya tapi minggu ini sudah dimuat berita sebagai calon istri orang lain."

Lir Keningar melengos.

"It was a mistake."

(Itu sebuah kesalahan).

"Which one, Lily? Our kiss or the news? Enlighten me."

(Yang mana, Lily. Ciuman kita atau beritanya? Perjelas pada saya).

"Both."

(Dua-duanya).

"Begitu, ya?" Harya melepaskan genggaman tangannya, beralih kembali pada kemudi. Dia diam, air mukanya dingin, senyumannya berubah masam. "Saya tidak begitu, Lily. Saya akan tetap menciummu walaupun bedil bapakmu itu siap menembak kepala saya. Walau kamu benar-benar akan mematahkan tulang rusuk saya. It was never a mistake, for me"

(Bagi saya, ciuman kita tidak akan pernah menjadi sebuah kesalahan).

Harya bungkam seribu bahasa setelah mengatakannya, menurunkan Lir Keningar kembali di depan rumah keluarga gadis itu. Laki-laki itu tak seperti biasanya, melaju pergi tanpa menunggu Lir Keningar masuk. Ucapan selamat malamnya yang selalu diimbuhi kata-kata gombal dan usil pun tak ada.

Lir Keningar sekali lagi goyah.

"Apa Harya semarah itu? Why does her heart aches? She can feel physically, a pain in her chest. Her heart suddenly feels so heavy, waves of sadness hit her chest.

(Mengapa hatinya sakit? Dia bisa merasakan sakit di dadanya. Hatinya tiba-tiba terasa berat, gelombang kesedihan menyerangnya).

"Mbak Lily" itu suara musuh bebuyutannya, Rakai Nagara yang sudah lama tidak melembut dan semanja ini. "Mbak Lily kenapa?" Lir Keningar menoleh, menggeleng kecil.

"Mbak cuma capek."

"Capek istirahat, mbak. Kok malah nangis?" Hah. Lir Keningar buru-buru menyeka air matanya. Dia bahkan tak sadar kalau pelupuknya sudah dibanjiri air mata. Konyol sekali! Rakai berdiri mematung di balik gerbang rumah, menatap takut dan tak percaya. Jika diurutkan secara hierarki di rumah ini, bapak adalah Jenderal bintang empat, ibu adalah Jenderal besar bintang lima, dan kakaknya, Lir Keningar Mangkoedihardjo adalah Panglima Tertinggi. Siapa yang berani-beraninya menyakiti dan membuat nangis Panglima Tertinggi? Siapa? Apa dia tak takut mati? Ada berapa nyawanya? Sembilan kah?

Right Person, Wrong Time.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang