"Jangan salah, orang terkaya di Indonesia yang punya pabrik rokok saja suka makan di sini" Lir Keningar memindai salah satu kedai makan di dekat Bandara yang dielu-elukan Harya sembari menikmati makan siangnya. Harya memesan menu andalan, dua piring nasi teri dengan masing-masing dua potong empal, dan sambal yang menggoda. Ada Stefanie yang terlempar jauh, duduk di meja yang berbeda. Dia makan sembari masih sibuk memeriksa tablet PC di meja.
"Iya, ini enak" berujar setelah menyeruput minuman, demi menuntaskan keinginan Harya yang haus akan validasi darinya. "Jam berapa kamu berangkat? Kamu gak akan dengan manjanya minta diantar sampai terminal kan?" Harya termangu, bagai tak mengira kalau Lir Keningar bisa menebak rencana kekanak-kanakannya itu.
"Lily, I want you to tell me. Ada berapa banyak laki-laki dari golongan saya yang pernah merayu kamu? Apa mereka juga melakukan hal-hal yang kekanak-kanakan untuk mendapat perhatian kamu?"
Lir Keningar menutup mulut, karena suara tawanya ikut mencuri perhatian Stefanie. Raut wajah Harya, mengisyaratkan keseriusan dan keengganan jika saja ada yang menyamainya. Lir Keningar mengedikkan bahu. "Kenapa? Kamu juga akan memberi mereka pelajaran? Seperti yang kamu lakukan pada Hengky Perdana?" Harya menyandarkan punggungnya pada kursi, menyilangkan kaki dan bersedekap. Air mukanya berganti dingin, dengkus kasarnya nyaring. "Dia harus bersyukur cuma dahi dan tangan kamu yang tergores malam itu, kalau tidak mungkin anak itu masih harus berurusan dengan saya walaupun di dalam penjara."
Harya tak menyangkal. Dan Lir Keningar tak perlu bertanya lebih jauh, dari mana Harya mendapatkan segala informasi mengenal keluarga Irjen Polisi dan Hengky Perdana? Bagi orang-orang semacam Harya yang berada di titik zenith, di puncak lingkaran oligarki dan konglomerat, mendapatkan informasi bukan perkara sulit. Mereka membeli informasi-informasi A1, dari informan-informan kredibel dengan harga-harga yang pantas. Mereka punya intel-intel tersendiri, privilege yang tidak dimiliki kaum bawah dan menengah. "You are really love to showing off your wealth and power, don't you?" Harya mengangkat satu alisnya tinggi.
(Kamu benar-benar suka memamerkan kekayaan dan kuasamu, iya kan?)
"It's not like I am the only guy you know who posses power and authority¹" Lir Keningar meregangkan tubuh, memilih tak menjawab. He and his small pang of jealousy. Lir Keningar mengerang kesal saat Harya tak berhenti dengan kecemburuannya. "Pegawai negeri sipil dan pejabat negara itu beda, Lily. In case you don't know²" Oke stop, bapak Harya yang terhormat.
(Saya bukan satu-satunya orang yang kamu kenal yang punya kekuasaan dan otoritas¹).
(Jaga-jaga kalau kamu gak tahu²).
oooo
Lir Keningar malas keluar rumah di malam hari begini meski cuaca mulai sedikit gerah. Harya dan oleh-olehnya yang menunggu di depan mini market di dekat rumahnya, memaksa Lir Keningar keluar dari kamar. Tak ingin kemayu dan penuh effort, Lir Keningar hanya menyambar cardigan rajut di gantungan pintu, masih mengenakan kulot batik tidurnya yang nyaman dan corset tank top senada. Berjalan gontai sekitar seratus lima puluh meter dari rumah, Lir Keningar dapat melihat dari jauh sebuah Ferrari merah parkir di depan mini market.
"Aku yakin perjanjian awal kita cuma lima kali pertemuan, apa ini juga masuk hitungan?" Lir Keningar tak memberi kesempatan Harya mengucapkan hai, begitu masuk ke dalam sports car yang entah ke berapa yang dimiliki laki-laki ini.
"Enak saja, tentu bukan."
Lir Keningar memutar bola malas.
"I just want to drop off my 'oleh-oleh'. Tadi kan saya sudah nawarin mengantar langsung ke rumah" Harya berkilah.
(Saya cuma mau ngantar oleh-oleh saya).
Lir Keningar mengerang lirih, ini yang memaksa dia keluar dari rumah.
Harya mengulurkan sekotak macaron.
"Coba ini, Lily. Kalau kamu suka, nanti saya buka outlet-nya di Jakarta."
Entah ini yang ke berapa kali Lir Keningar harus memasang muka horor setelah mengenal Harya? "Jangan berlebihan begitu melototi sayanya. Cowok-cowok zaman dulu katanya bahkan rela bangun candi."
"Ini sih kamu sengaja pengen bikin aku gendutan" Harya menangkup wajahnya sendiri dengan satu tangan, menatap lamat-lamat pada Lir Keningar yang membuka sekotak macaron darinya. "Mau sekurus apa sih? You look slim and healthy, and.." Harya tak meneruskan kata-katanya, membiarkannya mengambang di udara. Dia hanya menelan ludah, berbalik salah tingkah menghadap ke depan saat Lir Keningar membalas tatapan matanya dengan tajam. Seolah tak ingin Lir Keningar tahu, mengenai apa saja yang selama ini dia bayangkan mengenai gadis itu? Fantasi-fantasi tersembunyi di ruang-ruang kesendiriannya, tanpa seizin Lir Keningar.
"Mau duduk-duduk di depan sana saja?" Harya menunjuk kursi di depan mini market.
Belum sempat persetujuan keluar dari bibir Lir Keningar, kejadian di luar sana menyita perhatian Harya. Adik satu-satunya dari Lir Keningar, Rakai mengendarai vespa tuanya dan berhenti di depan mini market. Sayangnya, dia tidak sendiri. Anak kuliahan yang sebentar lagi lulus itu membonceng seorang perempuan. Turun dari atas motor, tertawa-tawa sembari membantu si perempuan membuka helmet lalu berkata. "Mbak pacar pengen nyemil apa buat kita nonton?" saat Harya menoleh pada Lir Keningar, dia melihat tanduk banteng tak kasat mata. Akan terjadi pembunuhan malam ini, di depan mata kepalanya sendiri. Sialnya, Harya lupa untuk mengunci pintu mobil. Lir Keningar sudah membuka pintu mobil, berdiri di sana dengan dua tangan terkepal kuat-kuat. "KALIAN.. APA-APAAN?"
Harya ikut keluar dari kursi kemudi Ferrari-nya, meraih tangan pacar Rakai yang menjambak rambut Lir Keningar. Abai pada teriakan maut dari mulut Rakai yang kesakitan karena tendangan membabi-buta kaki kakak perempuannya, juga rambut yang seolah hampir copot seakar-akarnya. "Lepas atau aku gigit" Harya bergeming atas gertakan pacar Rakai yang belum dia kenal, yang pasti Lir Keningar tahu dia siapa?
Bagi mata Harya, perkelahian ini tak imbang dan dia tidak mau Lir Keningar kalah. Apalagi terluka. Satu lawan dua, meski Lir Keningar tak terlihat kewalahan sedikitpun. Tak diragukan lagi, Lir Keningar memang putri sulung mantan Danjen Kopasus, tak gentar meski lawannya keroyokan. Di sini jelas-jelas cuma Rakai yang babak belur.
"Terus mbak Lily sendiri ngapain sama mas Harya berduaan di dalam mobil, kacanya gelap gitu malam-malam begini? Ngakunya ke bapak cuma klien, mana ada klien ketemuannya sembunyi-sembunyi? Sering lagi. Kata mbak pacar juga, mas Harya bukan klien mbak Lily. Rakai bakal laporan, mbak Lily bohong sama bapak."
Harya merasa Rakai sebaiknya diam. Itu akan menyelamatkan nyawanya.
"Kepalamu kayaknya harus dipukul pakai gada biar sadar ya, Kai. Bukannya serius ngerjain skripsi malah pacaran! Berani kamu ngerayu teman dan partner kerja mbak! Kamu juga.." Lir Keningar menunjuk perempuan yang memberontak dan belum berhasil lepas sejak tadi dari cekalan Harya, tanpa melepaskan cengkraman tangannya di rambut si adik yang sudah kesakitan parah. "Kamu lihat apa dari dia, Rania? Dia itu masih bocah! Kalian waras?"
"Jangan nyalahin mbak pacar, Rakai duluan yang su..ka aaarrrghh."
Teriakan pilu dan kesakitan Rakai menyita perhatian orang-orang yang lewat, juga pekerja mini market yang menengok di balik kaca. Harya meringis saat dia lengah tangannya digigit oleh perempuan yang baru dia tahu namanya, Rania. Laki-laki itu sigap menangkap Lir Keningar yang terlempar hingga hampir jatuh saat Rania menariknya.
"Cukup Lily, jangan nyakitin Rakai."
Harya bisa melihat wajah syok berat Lir Keningar, seolah baru menerima pengkhianatan besar saat Rania berdiri melindungi Rakai di belakangnya. Seolah siap melawan habis-habisan jika Lir Keningar berani menyakiti Rakai lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right Person, Wrong Time.
RomanceThe crossing of path between two who may not end up together. Right Person, Wrong Time. *Disclaimer: Setiap karakter dalam cerita ini fiktif, tidak mengacu maupun terinspirasi dari tokoh manapun. Latar belakang budaya-sosial Pura Mangkunegaran atau...