"Kita mengedepankan pelayanan terbaik.
Jangan gampang terusik dengan interest pengunjung lokal dan mancanegara di daerah-daerah wisata tertentu, yang lebih memilih hotel-hotel kecil karena dianggap lebih unik dan memenuhi personal experiences. Ya bukan di situ pasar kita. Apa lantas kita akan menurunkan quality untuk bersaing dengan mereka?" perdebatan pada rapat ini terjadi di hadapan Harya, yang sedang berdebat dengan dirinya sendiri."Menurunkan quality gimana sih pak? Justru saya mengatakan hotel-hotel kita, dengan skala midscale dan economy harus bisa bersaing dengan hotel-hotel milik pribadi yang pelayanannya lebih personalized. Kualitas itu dilihat dari seberhasil apa hotel mendapatkan pengunjung, sudah jelas-jelas kalah saing masa iya mau saklek. Hotel-hotel ini harus dievaluasi. Jangan-jangan propetinya sudah gak layak pakai, kuno. Mereka juga harus menabrak batasan, membikin policy-policy sendiri walaupun gak sama dengan yang sudah ditetapkan Powerhouse International. Fleksibel dalam menentukan harga dan permintaan-permintaan pengunjung misalnya."
Harya mengetuki layar tablet pc-nya dengan jari, rahangnya mengetat menahan kesal. Bukan perdebatan mereka yang membuat pikirannya sumpek, bukan. Tapi sebuah berita di koran lokal yang terpampang di depan matanya. She let him approach herself. He took a lead, but she returned his kiss¹. Iya, Harya ingat betul. They shared a moment. Namun apa yang sekarang Harya temukan? She is rumored to be someone else wife to be. How bewildered!² Haruskah Harya mengacak-acak kota Solo karena hal ini? Ataukah dia bisa menggunakan cara lebih halus dan mudah. Menggunakan sebaik mungkin uangnya dan membeli Harian Solo. Harya yakin harganya tak cukup mahal untuk menguras kantong. Suara dehaman Stefanie di belakang punggung, terpaksa mengembalikan Harya pada rapat.
(Gadis itu membiarkan saja Harya mendekat. Harya yang memulai, tapi dia membalas ciuman itu¹).
(Dia dirumorkan sebagai calon istri laki-laki lain. Sungguh membingungkan!²)
"Saya setuju dengan Briyani. Kirim laporan ke saya. Kita akhiri rapat hari ini."
Dua mata Stefanie membola. Bos-nya tidak sekedar setuju kan? Sejak tadi dia mendengarkan kan? Iya kan?
Harya memutar kursinya, begitu anggota rapat keluar dari ruangan.
"Jam berapa saya bisa pulang hari ini, Stef?" Stefanie memasang senyuman tipis.
"Sayang sekali, anda sibuk sekali hari ini. Kalau anda beruntung mungkin jam 10 malam. Ada jadwal makan malam dengan pak Gunawan dari PT. Prima Raya Mitra. Mereka pemasok penting untuk hotel kita yang jadwalnya sama padat dengan anda."
"Apa saya masih bisa bertemu anak gadis orang jam 10 malam?" Harya hampir mengajukan keberatan.
Stefanie mengulas senyum tipis. Menunduk hormat pada Harya sebelum melenggang pergi dari ruangan bos-nya.
"Saya gak tahu, jangan tanya saya."
Namun Stefanie harus mengakui bahwa bos-nya memang pantang menyerah. Pertemuan dengan Gunawan dari PT. Prima Raya Mitra, rampung sebelum jam 10 malam. Padahal laki-laki itu terkenal dengan sifatnya yang suka bicara. Melaju pergi dari restoran, Harya masih sempat menyampaikan pesan.
"Kamu jangan pulang dan istirahat dulu, Stef. Kalau saya tidak bisa menemui dia hari ini di rumahnya, mungkin saya harus ke Solo malam ini juga. Suruh Yamin siap-siap."
"Pak, bisa tidak anda bucinnya sewajarnya saja? URUSAN ASMARA ANDA INI MENYUSAHKAN SAYA" jangan harap ucapan Stefanie ini didengar Harya, laki-laki itu sudah melenggang pergi dengan mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right Person, Wrong Time.
Roman d'amourThe crossing of path between two who may not end up together. Right Person, Wrong Time. *Disclaimer: Setiap karakter dalam cerita ini fiktif, tidak mengacu maupun terinspirasi dari tokoh manapun. Latar belakang budaya-sosial Pura Mangkunegaran atau...