SPM 17. Balasan Surat

970 76 11
                                    

"Mati, aku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mati, aku." Mendapatkan buku yang bertumpuk-tumpuk di depan mata membuat tubuhnya langsung lemas. Tatkala menjatuhkan tubuh menjadi duduk di kursi besi, yang memiliki bantal empuk.

"Enggak mati. Itu sekadar buku yang berisi goresan tinta, nggak akan menyakitimu."

Benar tidak membuatnya mati, tetapi buku sebanyak ini membuat kepala—rasanya ingin pecah. Tangan kanan Cici menyangga kepala. Mata sedikit melirik ke kiri, di sana sudah mendapatkan kakak tingkatnya. Laki-laki itu menyandar di badan rak buku, posisi tangan menyingkap di depan dada.

"Ini membuatku mati, Kak. Bayangkan buku sebanyak ini, dibaca satu-satu mendidih kepalaku. Pusing. Kejang-kejang. Mati."

Dramatis sekali gadis itu. Darren pun memutar bola mata malas. "Lebai." Satu buku yang masih berada dalam genggamannya, ia hantam 'kan ke wajah memelas adik tingkatnya itu. "Ayo, bawa buku-bukunya itu."

Buku itu jatuh ke meja. "Kak! Ini wajah loh." Laki-laki itu sudah lebih dulu meninggalkannya, di mana laki-laki itu menyusuri setiap rak buku lagi. "Astaghfirullah. Sabar-sabar. Ayo belajar mencintai buku. Generasi emas 45 tidak boleh malas-malasan."

Cici segera berdiri dengan mantap. Matanya menatap tumpukan buku tersebut. "Tinggal dulu aja, buku-buku ini, lagian kesbatu mau cari buku apa lagi sih? Heran aku."

Gadis mengenakan gamis tak berlengan hitam dengan dalaman manset pink fanta mengikuti kakak tingkatnya dari belakang, sesekali jemarinya ikutan memilah buku.

"Kesbatu mau cari buku apa lagi? Perasaan sudah banyak buku yang diambil. Emang Kesbatu nggak pusing baca segitu banyak?"

"Enggak. Soalnya yang baca nanti kamu."

Seketika mata Cici membulat, tak sengaja menjatuhkan buku. Full body refleks membalik, menatap laki-laki yang tengah memilah buku dengan santai.

Cici tertawa palsu. "Jangan main-main, Kak. Otakku cuma satu ini, nggak ada garansinya."

"Enggak ada yang main-main di sini. Tanam chip aja ke otakmu."

"Wah, aku harus menjauhimu sih, Kak. Jangan-jangan kamu mau menjadikan ku kelinci percobaan."

Bibir Darren berkedut, mendapatkan respon seperti itu dari adik tingkatnya. Gadis itu percaya sekali dengan ucapannya. Padahal, Darren sekadar bercanda.

"Jangan naif, Pil. Udah ayo."

"Naif-naif gundul'e, dia bilang tanam chip, gimana aku nggak mikir yang aneh-aneh." Cici menggerutu, menatap kepergian laki-laki itu.

Sang Pelindung ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang