SPM 19. Lapangan Salah Paham

773 64 5
                                    

Bola matanya sedikit melirik pada benda botol plastik—berisi air bening. Pada saat dirinya tengah mengikat tali sepatunya, tak sengaja benda tersebut terjatuh di depan sepatunya. Tangan kanannya memungut botol plastik tersebut, kepala mendongak—mencari pemilik botol ini.

Tidak jauh dari tempat ia berjongkok terdapat dua laki-laki tengah berjalan. Laki-laki sebelah kanan sedang menyeka keringat di keningnya menggunakan handuk kecil, berwarna putih.

"Sepertinya—botol ini milik dia." Segera saja dia berdiri lalu menghampiri dua laki-laki yang terlihat masih muda.

"Mas, tunggu! Botol minumnya jatuh!"

Teriakan perempuan itu membuat dua laki-laki menghentikan langkahnya lalu menghadap belakang. Gadis mengenakan Hoodie cokelat, hijab sport hitam, sudah berdiri di hadapannya dengan napas terengah-engah.

Dua laki-laki di hadapannya ini, membuatnya terkejut. "Kak Arvaz, Kak Darren."

"Manis ... Eh Dek Ci maksudnya. Kamu lagi joging juga?" tanya Arvaz. Sebenarnya sudah terbaca dari penampilannya dan keringat yang sedikit membasahi keningnya. Dia hanya basa-basi saja.

"Iya. Sekalian ngejar Kak Darren."

"Dek Manis ... Perempuan itu kodratnya dikejar, bukan mengejar."

"Kak Arvaz, mohon maaf, koreksi dikit. Perempuan itu kodratnya cuma menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya, jangan apa-apa disangkut pautkan dengan 'kodrat'." Cici membalas pernyataan kakak tingkatnya itu, sedikit kurang cocok. "Ya itu haknya masing-masing kalau masalah cinta. Kalau perempuan suka dulu, masak iya disuruh diam terus. Tidak semua perempuan kuat memendam perasaannya. Kalau tidak bisa jadi bunda Fatimah, ya jadi bunda Khadijah."

"Ya, maksudnya jadi perempuan jual mahal dikit lah."

"Harga diriku 271 T. Gimana, mau membeli ku?"

"Makin ngaco. Ya enggak gitu konsepnya." Arvaz sedikit terkejut dengan balasan adik tingkatnya ini—diluar ekspektasinya. Dia hanya ingin adik tingkatnya ini, jangan terlalu memakai perasaan jika di hadapkan dengan cinta. Sebab, jika tidak mendapatkan akan terasa amat sangat sakit.

"Mau jual diri? Memang benar, bunda Khadijah menyatakan perasaan lebih dulu, tapi tidak dengan cara ini. Dari perkataanmu, kamu seperti ingin menjual diri." Darren sekali bersuara, menusuk sampai jantung.

"Enggak! Astaghfirullah."

Perkataan yang keluar dari mulut Darren, membuat Arvaz sedikit menahan tawa. Tidak heran lagi, jika sahabatnya ini sedikit blak-blakan kalau jujur. "Duh, panas-panas gini, enaknya makan pecel."

Cici menghantamkan botol plastik di depan dada Darren dengan kencang. "Aku mengejar kalian, karena ini. Botolnya jatuh."

Sedikit menjengkelkan saja, niat ingin mengembalikan botol minum ke pemiliknya, jadi ke mana-mana pembahasannya.

Darren tidak memberikan reaksi, botol itu jatuh ke bawah. Kedua laki-laki ini memandangi adik tingkatnya yang membalikkan badan, hendak meninggalkannya.

"Mau ke mana?" tanya Darren.

Kepala Cici sedikit menoleh ke belakang, namun badan tidak berubah posisi. "Bilang apa dulu?"

"Terima kasih," jawab Darren menatap punggung belakang Cici.

"Sama-sama." Kepala gadis ini menghadap depan lagi. "Kalian pasti lapar habis joging, mending ikut aku sarapan nasi pecel."

"Oh, iya boleh."

Kedua alis Arvaz mengkerut lalu menoleh kiri, menatap wajah datar Darren. Tumben sekali sahabatnya ini, tidak menolak.

Sang Pelindung ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang