SPM 20. Festival Kesenian

721 59 4
                                    

Suasana malam di Festival Reog Ponorogo terlihat sangat ramai, mulai dari masyarakat Ponorogo sampai luar Ponorogo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana malam di Festival Reog Ponorogo terlihat sangat ramai, mulai dari masyarakat Ponorogo sampai luar Ponorogo. Bahkan, tidak hanya dari dalam Indonesia, melainkan terdapat turis dari luar Indonesia yang berdatangan untuk menyaksikan Reog Ponorogo. Reog Ponorogo sendiri sebagai ikon budaya Ponorogo, termasuk budaya yang sudah mendunia. Kesenian Reog Ponorogo sering kali dipentaskan di luar negeri, sebab itu banyak turis yang tertarik dengan keseniaan ini.

Seorang gadis mengenakan kebaya hitam dengan bawahan jarik instan, yang memiliki motif truntum garuda. Rambut hitam pekat, sedikit bergelombang—tergerai cantik. Senyum manis tidak lepas dari bibirnya, berjalan secara anggun menjadi pusat perhatian semua orang yang berada di area festival.

"Cici nggak jadi ikut, Ren?" tanya Kevin kepada sahabatnya.

"Enggak," jawab Darren. "Aku juga nggak tahu, kenapa tiba-tiba dia nggak jadi ikut," batinnya sedikit kecewa. Entah kenapa, ia seperti tidak memiliki semangat mendatangi festival ini. Padahal—seharusnya ia menikmati suasana malam ini, seperti orang-orang sekitar dan sahabatnya.

"Sayang banget sih."

"Ya, mau bagaimana lagi. Rencana yang disusun manusia, tidak sama dengan rencana yang sudah disusun Allah."

"Benar juga sih."

"Lalu bagaimana dengan Aisyah, Vin? Kenapa nggak ikut?" Kini berganti Darren yang bertanya kepada sahabatnya itu.

"Biasa, kalau udah punya balita sedikit riweh."

Darren hanya mengangguk, dia cukup mengerti dengan keadaan orang yang sudah berumah tangga, apalagi memiliki anak kecil.

Ketiga laki-laki tersebut masih berada di luar panggung festival—menunggu seseorang.

"Kenapa ya, kira-kira Dek Ci nggak ikut? Jadi penasaran." Arvaz sedikit aneh saja dengan adik tingkatnya itu, mendadak sekali membatalkannya.

"Abang!" teriak seorang gadis dengan gaya rambut dicepol, berwarna cokelat pirang. Dia lari menghampiri Arvaz.

"Akhirnya kamu sampai juga. Lama banget, pasti mampir-mampir."

Lea sedikit kesal dengan tuduhan kakak laki-lakinya ini, sudah ditinggal di parkiran, di salahkan juga. Sebenarnya, dia mendatangai festival ini bukan atas kemauannya sendiri, melainkan atas paksaan kakaknya. Karena, daripada tiket Cici terbuang sia-sia, jadi ia berikan kepada adik tirinya.

"Siapa suruh main tinggal di parkiran." Raut wajah Lea terlihat sangat kesal, tangan bersedekap dada. Sedari tadi, di sepanjang jalan, gadis ini menggerutu tidak jelas. Tidak terima. Merasa tidak disayang dengan kakaknya.

"Jadi Abang, tega banget sama adiknya sendiri."

Arvaz senyum kikuk, sadar dengan kesalahannya sendiri. "Ya sorry, Dek. Tadi, kebelet kencing, nggak tahan, ya aku tinggal ke toilet dulu."

Sang Pelindung ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang