39. Izin Bahagia, Boleh?

9.5K 1K 559
                                    

     Selama perjalanan pulang, Lavanya tak berhenti menangis, gadis itu terisak sesak mencoba menghubungi Nero meski hanya centang satu dari sana.

      Ternyata benar, penyesalan selalu datang di akhir. Tak seharusnya dia menjauhi Nero hanya karena kesalahpahaman kecil, yang mana melupakan segala kebaikan Nero.
 
      "Lavanya udah ya, jangan nangis. Aku anter kamu temuin Nero."

       Tak menjawab, Lavanya masih menangis. Gadis itu tak menjelaskan apa-apa, hanya menyebut nama Nero berulang kali.

        Sampai di perumahan, Lavanya langsung pergi ke rumah Nero. Namun sialnya pagar cowok itu terkunci. "NERO!"

        Tak ada motor yang Nero pakai, cowok itu tidak pulang ke rumah.

       "Kamu kenapa? Jelasin dulu Lavanya, aku bingung."

        "Tadi, cewek yang aku kira pacar Nero, bilang semuanya. Kalau mereka ga pernah jadian, dia bilang, kalau Nero suka sama aku."

        "Rayan... Aku udah bikin jarak sama Nero, aku udah mikir gak-gak tentang dia, aku udah ngejauhin dia cuman karena gosip gajelas yang aku percayai."

        "Aku nyesel, aku mau ketemu Nero, aku mau minta maaf ke dia Rayan."

        Setelah itu, Rayan baru memahami apa yang terjadi pada Lavanya. Cowok itu hanya bisa mencoba menenangkan dengan mengusap puncak kepala Lavanya, karena sangat tidak sopan jika membawa gadis itu ke dalam dekapannya.

        "Hey, udah. Nero pasti maafin kamu, aku yakin dia gak mungkin marah sama kamu Lavanya."

       "Aku bantuin kamu cari Nero, oke?" ucapnya sungguh.

       Lavanya mengangguk, gadis itu tersenyum sangat tipis. "Makasih Rayan, aku mau masuk kamar dulu bentar."

        Lavanya pergi ke halaman rumahnya bersama Rayan, sebelum membuka kunci pintu. Tatapannya salah fokus pada coklat, bunga, dan satu buah surat di bawah pintu.

       Kedua alisnya tertaut bingung, menunduk untuk memastikan. "Ini dari siapa?"

       "Coba kamu baca suratnya," kata Rayan.

        Lavanya membuka surat yang tulisannya terkenal jelas di matanya.

        "Maaf, maaf, dan maaf. Senang akhirnya gue tau perasaan lo sebenernya ke gue Lavanya, ada hal yang selama ini gue sembunyiin, yaitu perasaan gue ke lo. Bohong kalau gue gak jatuh cinta, bahkan, perasaan ini udah hadir sejak kita duduk di kelas 11, tepatnya study tour. Ada banyak alasan yang gue pertimbangkan untuk menjadikan lo pacar gue. Pertama, gue gak mau ngerusak mimpi lo, gue takut nyakitin lo. Gue pikir, dengan kita kayak gini, gak akan ada yang tersakiti. Tapi ternyata gue salah, lo sakit karena ngerasa berharap sendirian."

       "Gue yang terlalu berpikir lo akan peka sama semua perhatian yang gue kasih selama ini, rasa peduli, khawatir takut kehilangan lo. Ternyata gue salah lagi, perempuan butuh sebuah kepastian, ya? PASTI. Gue yang salah di sini Lavanya, gue pengecut gapernah nyatain perasaan ini ke lo. Lavanya, gue jatuh cinta sama lo, jauh sebelum lo menaruh perasaan yang sama. Tapi gue bisa apa? Meski terlambat, selamat atas hubungan kalian. Bahagia gue, ngelihat lo bahagia. Meski awalnya gue berpikir, bahagia lo ada di gue, nyatanya gue salah..."

       "Gue cuman pernah dapatin bahagia lo, bukan cinta lo."

       Tangis Lavanya pecah setelah membaca isi surat yang ditulis Nero. Kali ini rasanya benar-benar menyakitkan untuknya. Sebuah jarak yang tercipta hanya karena kesalahpahaman antara keduanya.

NERO LAVANYA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang