Sebuah pertemuan memang akan selalu ada perpisahan, entah dipisahkan oleh jarak, waktu, atau bahkan kematian. Tidak ada yang bisa menentang takdir, meskipun terkadang tak sesuai dengan realita. Mimpi harus dikubur bersama dengan raga dan jiwa yang mulai tenang.
Kematian adalah takdir yang tidak bisa dihentikan. Kalau memang batas hidupnya di bumi telah selesai, tidur sekalipun bisa tiada.Ada yang bilang, meninggal sesuai kebiasaan di dunia. Lalu, Amora baru mengingat, kalau Rayan memang sering kali kebut-kebutan di jalan kalau dirasa banyak pikiran. Lelaki itu, tak pernah setenang tutur katanya, ada banyak hal yang selalu menganggu pikiran Rayan, semenjak orang tua nya selalu memaksa dia harus menjadi anak yang sempurna. Dituntut harus lebih hebat dari Kakak-kakaknya.
Namun sepertinya Tuhan tahu, raganya mulai lelah di bumi. Membutuhkan istirahat tenang tanpa ada tuntutan menjadi manusia yang serba bisa.
Rayan adalah cowok paling baik yang pernah Amora kenal. Semua yang ada pada dirinya benar-benar diciptakan sempurna. Tutur kata yang lembut, sifat yang perhatian, pola pikir dewasa padahal Amora tau, kalau jiwanya masih ingin menjadi anak kecil yang dipeluk dengan penuh sayang.
Orang dulu menganggap anak sebagai investasi, mereka harus serba bisa sesuai kemauan orang tua. Harus bisa membalas budi menjadi anak yang sempurna dalam semua bidang.
Bohong kalau Rayan adalah anak yang rajin, pada dulunya dia hanya cowok nakal yang suka kebebasan. Rayan kecil suka sekali main bersama teman-teman di dunia luar. Namun, mentalnya mulai lelah saat selalu disalahkan karena dianggap beda dengan Kakaknya. Rayan itu harus pintar, harus bisa mendapat banyak prestasi, harus selalu belajar, dan belajar. Harus menjadi Apoteker, harus menjadi orang hebat.
Bagus, hal kecil untuk membentuk masa depan yang cerah. Namun, tekanan itu mampu membuat mentalnya lelah. Mengusahakan apa yang tidak bisa harus menjadi bisa.
Tapi, Rayan tak pernah mengeluh meski Amora tau, kalau Rayan lelah. Dia cuman mau dipeluk, disayang tulus tanpa harus mendapatkan sesuatu terlebih dulu.
Herannya, didikan keras itu, tak merubah sifat lembutnya. Rayan tetap Rayan, cowok dengan tutur kata lembut dan ikhlas yang luas.
"Selamat menjadi tenang, Rayan. Aku mendoakanmu."
***
Setelah mulai baikan, Nero masih tetap harus dirawat selama pemulihan. Cowok itu hanya mengikuti perkuliahan lewat zoom selama berada di Rumah sakit. Sampai sekarang pun, Lavanya belum menceritakan apa-apa. Meninggalnya Rayan masih menjadi diam untuk dia ceritakan pada Nero di saat kondisi Nero masih belum stabil, terlebih, Nero belum tau kalau Lavanya sempat pergi ke Bandung untuk menemani Amora menguburkan jasad Rayan di Bandung.
"Maaf udah bikin lo khawatir Lavanya, nasi padangnya gak sampai."
Nero tersenyum miris. Harusnya dia bisa mengantarkan nasi padang ke Lavanya hari itu, bukan memberi gadisnya sebuah tangisan.
Lavanya menggeleng, bagaimana bisa Nero merasa bersalah hanya karena nasi padangnya tidak sampai? Di mana saat hari itu pikirannya hanya tertuju pada keselamatan Nero.
"Gapapa, kan nanti kalau lo sembuh, kita bisa makan nasi padang bareng, kayak waktu SMA," jawab Lavanya dengan bibir bergetar.
Ada perasaan takut yang menganggu sejak kepergian Rayan. Cowok yang baru dia lihat beberapa hari di kampus dengan senyuman manis, dan fisik yang terbilang sehat. Namun ternyata, harus pergi terlalu cepat sebelum mimpinya tercapai di Jogja.
"Lo kenapa? Setelah gue bangun, jarang sekali lihat senyum di bibir lo." Nero merasa aneh, ada yang hilang, senyum Lavanya hilang.
"Gimana gue bisa senyum di saat orang yang gue sayang terbaring lemah di Rumah sakit?"
Nero tersenyum hingga matanya menyipit, menepuk pinggiran brankar untuk Lavanya duduk. "Sini naik, mau peluk."
Lavanya menurut, dalam peluknya air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya meluruh. Ia terisak dalam dekapan Nero, rasanya sakit. Kepergian Rayan benar-benar membekas di hatinya, terlebih, dia pernah menyatakan cinta padanya. Belum lagi, Lavanya harus kehilangan sosok Amora yang ceria. Gadis itu hanya berangkat kuliah, lalu pulang. Senyumnya hilang sejak bangku sampingnya kosong, tak ada lagi Rayan di hidup Amora.
"Besok gue pulang, janji buat sembuh. Gue kan calon dokter, masa sakit?" Nero berusaha menenangkan.
Tangannya terus mengusap puncak rambut Lavanya tanpa menyadari gadis dalam dekapannya tengah menangis. Saat merasa bajunya basah, Nero menunduk, melepas pelukan dengan raut bingung. "Lo nangis? Lavanya, kenapa nangis?"
"Gue ada salah? Lo mau gue pulang sekarang? Gue pulang, tapi plis jangan nangis."
Mendengar itu, bukan diam malah tangisannya semakin kuat. Bingung, Nero kembali membawa Lavanya ke dalam dekapannya. Peka kalau perempuan tidak suka ditanya saat tengah menangis, dia hanya ingin tenang dengan mengeluarkan air mata yang menjadi alasan sesak di relung hati.
"Maaf kalau gue udah bikin lo khawatir, bikin lo sedih. Gue janji, lain kali pasti lebih hati-hati."
"Gue takut hujan," lirih Lavanya mendongak dengan air mata yang tak kunjung berhenti. "Hujan hampir ngerenggut nyawa lo, gue takut, takut hujan Nero."
"Ssttttt, gak boleh takut. Gue kan baik-baik aja sekarang, buktinya bisa meluk lo. Gue udah janji selalu sama lo Lavanya, gak akan pergi jauh. Janji, jangan sedih-sedih lagi ya. Ayo kumpulin semua bahagia, sama gue."
Di luar ruangan, Valerie meneteskan air matanya. Wanita itu menggigit bibir bawah, pikirannya kembali teringat di mana Drake kecelakaan dan melupakan dirinya. Hal paling Valerie takuti adalah sebuah celaka, yang hampir merenggut bahagianya dulu.
"Aku takut, takut Nero pergi dari aku," kata Valerie menatap Drake dalam. Lelaki itu menenangkan, membawa Valerie ke dalam dekapannya. "Maaf, udah pernah beri kamu ketakutan Valerie," bisiknya merasa bersalah.
"Nero gak akan kenapa-napa, anak kita kuat."
"Aku gak mau kehilangan kalian berdua."
"Ssttt, gak ada kehilangan di sini. Kita akan sama, lengkap seperti dulu dan akan selamanya seperti itu. Harus tenang, ya?" Perasaannya mulai tenang mendengar seluruh kalimat yang terujar dari bibir Drake. Merasa beruntung, lelaki yang seumur hidup bersamanya adalah Drake Rangkabumi.
"Jangan nangis lagi, hati gue sakit tau lihatnya," kata Nero. Ibu jarinya mengusap air mata Lavanya. "Jelek kalau nangis, nanti cantiknya hilang."
"Lavanya itu dilahirkan buat bahagia, jadi gak cocok nangis kayak gini."
Bibirnya berkedut, senyum yang beberapa hari ini sirna akhirnya muncul kembali di wajah Lavanya. "Manis banget ucapannya, buaya, ya?"
"Ngaco, emang begitu. Lo ditakdirkan untuk bahagia, sama gue."
"Aamiin." Lavanya merasa tenang. "Ada cerita apa hari ini? Gimana kuliahnya, Lavanya?"
Ditanya seperti itu, kembali membuat Lavanya teringat. "Nero, ada banyak yang ingin diceritakan."
Nero mengangguk, "Ayo ceritakan, Nero siap jadi pendengar."
"Rayan udah meninggal, tepat di hari lo kecelakaan."
***
gimana perasaan kalian baca part ini? ada yang nangis ga🙂
sedih banget😭😭 sakitt😭😭
besok ending yaaa😭 babayy💔💔😭😭
ayo ramaiin vote komennya di part iniii
KAMU SEDANG MEMBACA
NERO LAVANYA [SELESAI]
Teen Fiction"Kalahin gue dulu di semester ini, gue turutin 1 permintaan kalau lo berhasil kalahin gue." Nero dan Lavanya adalah dua rival di sekolah, bersaing ketat untuk meraih peringkat 1. Nero yang selalu unggul membuat Lavanya bertekad mengejarnya, dan pert...