Bab 40. MISI PERTAMA

1.4K 141 13
                                    

BAB 40. MISI PERTAMA

Pagi itu Fera sengaja tidak keluar dari kamar, ia ingin tahu respon apa yang akan didapat dari sang mertua. Suaminya sudah berangkat kerja dari pagi buta karena harus mengejar pesawat di jam 6 pagi. Ya, David di hari keduanya setelah resmi menikah adalah pergi dinas keluar kota. Dan ini memang sudah menjadi salah satu misi pertama mereka. Jangan harap ada kemesraan pada pasangan itu, sebab pernikahan mereka hanya di atas kertas dengan banyak syarat di dalamnya. Syarat yang memberi keuntungan bagi keduanya.

Fera akhirnya keluar kamar di jam 10, ia nampak anggun dengan mini dress yang disiapkan sang suami. Ia memberikan senyum pada ibu mertua dengan keponakannya—Michelle dan Hugo. Istri David nampak heran, usia mereka tidak terlalu jauh, kenapa keduanya tenang saja duduk di sofa, bukankah ini waktunya bekerja?

"Kau baru turun, apa selelah itu melayani Putraku?" sindirnya sembari menumpu kakinya dengan angkuh.

Fera mendekat lalu duduk tak jauh diantara mereka. "Ah, Mama, saya malu jika membahas itu, tapi benar, karena sikap manis suamiku, aku jadi tidak bisa tidur nyenyak. Maafkan aku...."

Michelle yang mendengar itu melirik kesal. "Halah, mana mungkin, bukankah Kakak pergi pagi buta tadi?" Ia berkomentar.

Fera menunduk sedih. "Benar, itulah alasan utama kenapa aku dan suami tidak bisa tidur, sebab baru menikah sudah harus ditinggal beberapa hari...." Ia sedikit sendu membuat kesan kesedihan yang mendalam.

"Seharusnya sebagai istri kau itu merayunya untuk bulan madu, kenapa justru ditinggal pergi bekerja. Sungguh aneh...." Kali ini Hugo berkomentar.

"Ah, itulah, saya sendiri heran dengan sikapnya yang sangat pekerja keras, tapi setelah melihat kalian duduk manis di sini pada jam kerja, sepertinya memang tulang punggung keluarga adalah suamiku, benar begitu?" tanyanya dengan wajah polos tapi ucapannya menusuk jantung mereka."

"Jaga bicaramu, menantu!" sentak Meyra yang kesal mendengar kalimat asal.

"Oh, maaf Mama, saya tidak bermaksud demikian, hanya penasaran saja."

"Apapun itu, bukan urusanmu sampai kau ikut campur dan ingin tahu. Jaga batasanmu, menantu."

Fera lekas mengangguk. "Baik, Mah. Maafkan saya ...."

Mereka tiba-tiba bangun. "Kami akan pergi, kau tetap di sini, jangan ke manapun." Setelah itu ketiganya pergi, mengekori sang nyonya besar yang entah akan pergi ke mana.

Usai kepergian ketiga orang tersebut, Fera mengeluarkan ponselnya lalu mengirim pesan singkat pada sang suami. [Mereka pergi bertiga, aku tidak tahu ke mana.]

[Ikuti.]

Ia menghela nafas, nampaknya pekerjaan ini tidak akan mudah dan mulus. Ia pun gegas mengejar agar tidak terlalu tertinggal jauh.

***

Di kantor tempat Fera bekerja.

Irma dan tim tengah rapat di tempat biasa. "Duh, kangen juga sama Fera, kok lama banget ya kerja di luar kotanya. Tumben banget loh anak baru sudah di tunjuk keluar kota begitu."

"Iya juga ya, sangat aneh, tapi mungkin karena dia pintar." Semuanya mengangguk. Baru saja rapat hendak dimulai, ketua tim mereka datang memberi info bahwa semua karyawan diminta untuk datang ke aula utama. Sontak saja semuanya saling pandang, pasalnya aula pertama itu adalah tempat khusus untuk bertemu dengan para pendiri perusahaan mereka.

"Serius nih, ada apaan memangnya?" Mereka semua keheranan tapi tidak ada yang mendapatkan jawaban yang absolut.

Sesampainya di sana, semua pegawai sudah memenuhi kursi masing-masing, tim marketing pun gegas mengisi bagian mereka dan tak lama acara langsung dimulai. Setelah sambutan dan lainnya, muncul direktur utama perusahaan tersebut, pria berusia 60 tahun itu berjalan gagah dengan setelan jas mewahnya. Jarang sekali mereka bisa melihatnya. "Gila ya, Direktur Utama, udah tua tapi masih ganteng dan gagah banget,"bisik Irma pada rekannya sembari cengengesan.

"Hush, nanti kedengeran habislah kau."

"Kenapa sih?"

"Pak Husein itu terkenal galak banget, dan nggak segan-segan untuk cut siapapun yang berani mengusiknya walau itu hanya sepele." Mendengar itu Irma melotot. Lalu seketika bungkam. "Tapi, ada yang bilang kalau...."

"Kalau apa?" Irma penasaran luar biasa.

"Kalau dia punya kekasih hati yang sangat sadis macam monster, siapapun karyawati yang sok dekat, bisa dihabisi tanpa rasa belas asih."

Irma merinding. "Ih, masa sih, baru dengar aku?"

"Ah, kamu itu terlalu polos jadi orang." Irma langsung mendelik. Mereka menahan tawa agar tidak sampai menjadi pusat perhatian.

Rapat besar itu rupanya untuk merayakan kesuksesan proyek mega mereka yang berhasil dan menghasilkan ratusan milyar. Semuanya bertepuk tangan dan menikmati sajian mewah yang tersaji. Dan hari itu setengah harinya mereka habiskan untuk menyantap makan mewah yang disajikan gratis oleh direktur utama sebagai tanda terima kasih dan syukuran.

***

Fera berhenti di sebuah gedung yang tak asing baginya. "Loh, inikan kantorku," ucapnya keheranan di dalam taksi biru.

"Anda turun di sini atau bagaimana, Bu?" tanya supir yang heran karena setelah berhenti tidak ada pergerakan si penumpang untuk turun.

"Kita kembali ke titik awal." Supir itu mengangguk saja tanpa bertanya lebih jauh.

Fera menekan nomor sang suami. "Pak, apakah Ibu anda ada kenalan di kantor tempat kita bekerja?" tanyanya begitu diangkat.

[Kenapa memanggilku, Pak, aku ini suamimu.] Ia menegurnya karena rasanya sangat kaku sekali. Fera berdehem karena agak malu juga karena panggilannya di koreksi.

"Jangan bahas itu dulu, ini ada yang lebih penting."

[Aku juga baru tahu, kau pulanglah, aku yang akan menyelidikinya.]

Fera mengangguk dan menjawab singkat. "Ya."

***

Di tempat kediaman David. Ia mulai berpikir, ada kepentingan apa sang ibu ke kantornya, dan itu bukan kantor keluarga. Siapa yang dikenal sang ibu di sana?

Ia nampak merenung, kemudian menelpon asisten pribadinya yang sudah ia percaya. "Kau selidiki, istriku mengatakan jika Mama ada di sana, entah apa yang ia lakukan, aku ingin kau memantau semua pergerakannya dan ingat jangan sampai mencolok."

[Baik, Pak.]

David mematingan sambungan kemudian merapihkan pakaiannya dan kembali untuk bekerja.

***

Yeni menangis di depan ruang perawatan, ia menjual apapun yang ia punya demi bisa merawat putrinya. Akibat kecelakaan waktu itu sang putri belum juga sadarkan diri. "Yuda, lihat itu adikmu, dia belum sadar juga. Mama takut kehilangan Cecil, kau sudah mendekam di jeruji besi, lalu sekarang adikmu, kenapa mereka jahat sekali pada kita, mentang-mentang kita adalah orang miskin, bisa seenaknya begini, huhuhu...."

Yeni benar-benar tidak mengingat bagaimana ia menyiksa menantunya dulu, memanfaatkan tenaga dan hartanya untuk kepentingan dirinya sendiri sampai keguguran dan dinyatakan mandul itu semua karena ulah dirinya. Dan sekarang saat keadaan berbalik ia justru tetap merasa tidak adil. Sungguh entah hukuman seperti apa agar Yeni memahami kesalahannya.

Sementara di dalam penjara, David masih terus sering mendapat bully-an. Sering kali dipaksa untuk meminjat, mencuci baju, dan dipaksa memberikan jatah makan untuk mereka hingga kini tubuh pria yang awalnya tampan itu menjadi kurus kering tak terurus.

Wajahnya selalu babak belur, biru-biru dan sering ada darah mengering di sudut bibirnya. Saat tengah dalam kondisi tidak baik-baik saja ia mendapat panggilan telepon dari keluarganya. Rasa senang membuatnya langsung berdiri dan mengikuti penjaga untuk ke tempat penerimaan panggilan. "Hallo, Mah?" sapanya riang.

[Yuda, Mama nggak sanggup lagi kalau begini, semua sudah habis tidak tersisa, adikmu sakit karena kecelakaan mobil, sampai sekarang belum sadar juga. Mama bingung Yud, harus bagaimana lagi. Tolong, Yud, kalau tidak Mama bisa mati, huhuhu....]

Mendengar itu tentu saja tubuhnya langsung lemas, ia awalnya mengira jika kehidupan sang ibu dan adik baik-baik saja, rupanya lebih parah dari dirinya. Setidaknya di sini ia bisa dapat makan tanpa berpikir bagaimana hari esok, walau rekan napinya sering meminta jatah makan padanya tapi ia masih bisa makan pagi dan malamnya. Air bening mengalir di pipinya, rasa kesal dan menyesal tidak bisa dibendungnya. Kenapa hidupnya jadi seperti ini, lebih parah dari saat miskin dulu....

BALAS DENDAM SANG ISTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang