Setelah merasakan sentuhan itu cukup lama, Richard melepaskan genggaman pada tangan Bianca, memberinya kebebasan, namun dengan jelas menunjukkan apa yang ia inginkan. Dia kemudian mengangkat satu kaki Bianca dengan lembut agar tapi tegas, mengarahkan penisnya ke lubang vagina Bianca.
Bianca menelan ludah, mencoba berkata sesuatu, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Akhirnya, ia berhasil berbisik, "Tuan... apa yang... apa yang Anda inginkan?"
Richard berhenti sejenak, matanya tetap terfokus pada Bianca. "Bianca," jawabnya dengan suara rendah dan datar, "Aku menginginkan apa yang sudah menjadi hakku. Aku telah menunggu terlalu lama untuk ini."
Bianca menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri meski hatinya terus berdegup kencang. "Tuan, ini... ini terasa salah," ucapnya dengan suara gemetar, meskipun ia tahu kata-kata itu takkan mengubah apa pun.
Richard menarik napas dalam, membiarkan tangannya tetap di penisnya, memberikan tekanan pada Vagina Bianca yang cukup untuk membuat Bianca menyadari niatnya. "Kau tahu apa yang salah, Bianca? Penolakanmu. Kau telah dipersiapkan untuk ini. Sekarang, berikan apa yang seharusnya sudah menjadi milikku."
Bianca menatap mata Richard, merasakan campuran ketakutan dan ketertarikan yang membingungkannya. Ia tahu bahwa resistensi akan sia-sia. Akhirnya, dia mengangguk perlahan, mencoba menerima kenyataan yang dihadapinya.
"Baiklah, Tuan," jawabnya hampir tanpa suara, meski suaranya bergetar. "Aku... aku akan menuruti keinginan Anda."
Richard, yang mendengar kata-kata itu, sedikit melonggarkan tatapan tegasnya. "Itu lebih baik," ujarnya sambil tersenyum tipis. Dia kemudian melanjutkan mendorong pinggulnya membawa penis terus mendorong lubang sempit Bianca, memastikan Bianca tahu bahwa dia kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya.
Saat Richard mulai mendorong penisnya lebih dalam, Bianca merasakan sakit yang semakin nyata ketika setengah dari vaginanya sudah terisi. Dia merintih pelan, mencoba menahan rasa sakit yang merayap di tubuhnya. Namun, Richard, yang sudah tidak ingin menunda lagi, mendorong penghalang terakhir itu dengan satu sentakan tegas, mempercepat rasa sakit yang harus dialami Bianca agar tidak terlalu lama.
"Sakit..." lirih Bianca, suaranya nyaris seperti bisikan, sementara air mata mulai mengalir keluar dari sudut matanya, menandakan betapa beratnya rasa sakit yang ia rasakan.
"Shhh..." Richard berbisik lembut, mencoba menenangkan Bianca. Ia menunduk dan mencium bibirnya, mencuri kelembutan di tengah-tengah ketegangan, berharap bisa mengurangi rasa sakit yang sedang dirasakan Bianca.
"Bianca, jangan khawatir," bisiknya lembut. "Aku akan membiarkanmu terbiasa dengan ini dulu."
Richard menunggu beberapa saat, tidak bergerak, memberi waktu pada Bianca untuk menenangkan diri dan beradaptasi dengan intensitas yang baru saja ia alami. Selama waktu ini, Richard menjaga keheningan, memberikan ruang bagi Bianca untuk merasa lebih nyaman dan mengatasi rasa sakitnya.
Setelah Bianca tampak lebih tenang, dengan napas yang lebih teratur dan air mata yang mulai berhenti, Richard perlahan mulai menggerakkan tubuhnya dengan lembut. "Bianca, buka matamu" katanya dengan nada lembut namun penuh perintah.
Bianca, dengan matanya terbuka, merasakan ketegangan dan kehangatan dari gerakan Richard. Ia mencoba untuk menenangkan perasaannya dan menyesuaikan diri dengan gerakan yang semakin teratur dari Richard, sambil merespons dengan perlahan dan hati-hati.
Richard mulai menggerakkan dirinya dengan lembut, mendekatkan tubuhnya lebih erat pada Bianca. Napas Bianca terdengar lebih berat, sedikit terguncang dengan setiap gerakan yang Richard lakukan. Rasa sakit yang semula terasa tajam kini mulai mereda, digantikan oleh sensasi lain yang tak sepenuhnya ia pahami.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Maid 21+
Teen Fiction21+ Demi membayar biaya perawatan kekasihnya yang sedang Koma akibat kecelakaan, Bianca terjebak menjadi Maid di Rumah mewah milik keluarga Richard Allexander. Tanpa bianca sadari hidupnya sudah sepenuhnya milik Richard tanpa bisa pergi darinya "Say...