31. Tak sesuai harapan

14K 402 71
                                    

Pagi itu, Richard masuk ke kamar Bianca dengan langkah tenang namun penuh kewibawaan. Bianca yang sudah berdiri di dekat jendela. Mendengar pintu terbuka, dia berbalik, dan melihat Richard mendekatinya.

Tanpa sepatah kata, Richard memeluknya erat, memberikan kehangatan yang membingungkan Bianca. Meski perasaan takut masih menguasainya, Bianca tidak bisa mengingkari ada sedikit kenyamanan yang terselip dalam pelukannya. Richard menatapnya dengan sorot mata yang lembut, berbeda dari biasanya.

"Jangan lupa pakaian hangatmu," ujarnya, suaranya terdengar rendah dan dalam. Dia menggenggam tangan dingin Bianca, membawanya ke pipinya, merasakan kehangatan yang ia berikan. Ada sesuatu yang berbeda pada hari itu, seolah dia benar-benar memperhatikan Bianca, bukan sekadar menuntutnya untuk menuruti kehendaknya.

"Pakai sarung tangan dan syal," lanjutnya, sembari membenahi syal di leher Bianca dengan sentuhan lembut. "Kalau nanti kau merasa dingin atau tidak kuat, bilang ke Ana. Jangan memaksakan dirimu, paham?"

Bianca hanya mengangguk pelan, terlalu terkejut dengan perhatian yang tiba-tiba diberikan Richard. Dalam kepalanya masih terlintas banyak kekhawatiran, tetapi kali ini, dia memilih untuk mengangguk dan mengikuti instruksi yang diberikannya tanpa banyak bertanya.

Richard mendekat lagi, mengangkat dagu Bianca dengan lembut. Tatapan matanya penuh kelembutan, seolah ingin meyakinkan Bianca akan sesuatu yang tidak pernah terucap. Perlahan, ia menunduk dan mengecup bibir Bianca, sebuah ciuman singkat namun sarat makna.

Bianca terkejut, tapi tak bergerak. Ada perasaan campur aduk yang bergemuruh dalam dadanya — ketakutan, kebingungan, dan sedikit kehangatan yang sulit dijelaskan. Richard melepaskan ciumannya dengan perlahan, masih menatapnya dalam-dalam, seolah memastikan bahwa ciuman itu meninggalkan bekas.

Richard memperhatikan Bianca sejenak, menghela napas pendek, seolah ingin mengungkapkan sesuatu lagi tetapi menahannya, dengan enggan, dia berbalik dan menuju pintu.

"Sampai nanti, Bee," ucapnya lembut sebelum meninggalkan kamar, meninggalkan Bianca dalam kebisuan yang tak terjawabkan.Richard mendekat lagi, mengangkat dagu Bianca dengan lembut.

Richard menatap lurus ke depan, ekspresinya berubah tegang. Dengan satu gerakan, ia merogoh handphone dari kantongnya, menghubungi seseorang. Suaranya dingin dan tajam, nada otoritasnya terdengar jelas.

"Apa mereka masih ada di sini?" tanyanya tanpa basa-basi.

Suara di ujung telepon menjawab, "Ya, Tuan. Mereka masih menunggu di sekitar sini."

Wajah Richard mengeras. "Pastikan tak ada yang mendekat atau mencurigai Bianca."

Ia memutus panggilan dengan tarikan napas dalam, jelas menunjukkan kekecewaannya. Rencana yang sudah disusunnya dengan begitu matang, ternyata meleset. Rasa frustrasi dan kegusaran tercermin di raut wajahnya, namun ia tetap berusaha tenang, mencoba menyusun langkah selanjutnya. Di dalam pikirannya, tak ada pilihan untuk menyerah — hanya menyesuaikan strategi dan mencari celah baru.

Ana melangkah mendekati Bianca yang berdiri memandangi jendela besar, menikmati pemandangan kota yang asing baginya.

"Nona, apa sudah siap?" tanya Ana dengan nada lembut, penuh hormat.

Bianca mengangguk pelan. "Sudah, Ana."

Ana tersenyum, kemudian menatap Bianca dengan perhatian. "Apa nona ingin makan dulu atau pergi ke suatu tempat? Kita bisa melakukan apa pun yang nona mau."

Bianca menggeleng, matanya menerawang seakan mencari jawaban di langit. "Aku… tak tahu, Ana. Aku bahkan tak pernah membayangkan bisa ada di sini," bisiknya lirih, setengah bicara pada dirinya sendiri.

My Maid 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang