19. Pengorbanan 21+

47.4K 297 11
                                    

Mobil berhenti tepat di depan sebuah gedung mewah yang menjulang tinggi, kaca-kacanya memantulkan sinar matahari siang itu. Bianca menarik napas dalam-dalam sebelum perlahan keluar dari mobil, tangannya erat mendekap dokumen yang akan ia serahkan kepada Richard. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, tidak hanya karena sepatu hak yang ia kenakan, tetapi juga perasaan gugup yang perlahan menyelimuti dirinya.

Saat tiba di depan pintu lobi, Bianca mendongak menatap arsitektur megah gedung tersebut. Ruangan berpendingin itu segera menyambutnya dengan hawa sejuk, sedikit meredakan kecemasan yang tersisa. Ia berjalan menuju resepsionis, seorang wanita dengan senyum ramah menatapnya.

"Permisi," suara Bianca terdengar lembut, "Saya ingin mengantarkan dokumen milik Mr. Richard."

Resepsionis itu segera memeriksa daftar di layar komputernya sejenak sebelum mengangguk. "Tentu, ruangan Mr. Richard ada di lantai 15. Anda bisa menaiki lift yang ada di sebelah kiri," katanya sambil menunjukkan arah dengan senyum yang tidak luntur dari wajahnya.

"Baik, terima kasih," jawab Bianca, sambil mengangguk sopan.

Dengan jantung yang masih berdetak cepat, Bianca berjalan menuju lift, mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Richard. Di antara dokumen di pelukannya, tersimpan bukan hanya berkas-berkas, tetapi juga sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan.

Lift itu bergerak perlahan, membawanya naik ke lantai 15. Ketika pintu lift terbuka, Bianca melangkah keluar ke koridor yang sepi, suasana sunyi khas ruangan yang hanya diperuntukkan bagi pemilik perusahaan. Dengan hati-hati, ia melangkah menuju meja sekertaris yang berada tak jauh di depan. Di sana, seorang pria yang ia kenali—sosok yang ia lihat kemarin saat menjemput Richard dari villa—sedang duduk. Bianca menguatkan diri sebelum berbicara.

"Permisi," suaranya terdengar halus namun tegas, "Saya mengantarkan dokumen milik Mr. Richard yang tertinggal di rumah."

Pria itu mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. "Oh, Nona Bianca. Mr. Richard sudah menunggu Anda di ruangannya." Ia menganggukkan kepala, lalu menunjuk ke arah sebuah pintu kaca di ujung koridor. "Itu ruangannya."

Bianca mengucapkan terima kasih singkat, lalu berjalan menuju pintu kaca yang disebutkan. Rasa gugup yang sempat mereda kini kembali datang. Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk perlahan. Ketukan tersebut menggema sejenak sebelum terdengar suara dari dalam.

"Masuk."

Suara lembut namun tegas itu jelas milik Richard. Bianca membuka pintu dengan hati-hati, lalu melangkah masuk. Di dalam, Richard tengah duduk di balik meja besar, terfokus pada beberapa dokumen yang terbentang di hadapannya. Namun, begitu ia mendengar suara langkah kaki Bianca, kepalanya terangkat dan matanya yang tajam bertemu dengan sosok Bianca.

"Tuan Richard," panggil Bianca lembut.

Suara halus itu berhasil mengalihkan perhatian Richard dari dokumen yang sedang ia baca, tatapannya kini sepenuhnya tertuju pada Bianca yang berdiri di hadapannya dengan dokumen di tangan."Letakkan di meja," suara Richard terdengar dingin, tanpa banyak basa-basi.

Bianca mengikuti instruksinya, meletakkan dokumen di atas meja besar yang memisahkan mereka. Namun, meski tugasnya sudah selesai, kakinya terasa berat untuk melangkah pergi. Ia tetap berdiri di sana, diam, dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.

Richard, yang semula kembali fokus pada pekerjaannya, mendongak ketika menyadari Bianca belum beranjak. Matanya menatap tajam, seolah mempertanyakan kehadirannya yang lebih lama dari seharusnya.

"Kenapa?" tanyanya tanpa menyembunyikan kebingungannya.

Bianca menelan ludah, perasaannya bercampur antara gugup dan takut. "Saya... mau minta tolong sesuatu, Tuan," ucapnya dengan suara yang bergetar, menandakan ketidakpastian yang jelas.

My Maid 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang