23. Ketika kuasa tak berbicara

19.2K 270 39
                                    

Kini Bianca duduk di pangkuan Richard di ruang kerjanya, suasana ruangan dipenuhi oleh keheningan tegang. Richard mengamati wajah Bianca yang terlihat lelah namun penuh pertimbangan. Di tangannya ada dokumen yang baru saja selesai diproses—surat persetujuan wali untuk kepindahan William ke Jerman.

Bianca menggigit bibirnya, merasa perih dan gelisah. Surat itu begitu penting, tapi setiap kali ia menatapnya, ada rasa sakit yang tak bisa ia ungkapkan. Ini adalah keputusan yang besar, namun tidak ada pilihan lain.

"Ini semua untuk William," bisik Richard di telinganya, tangannya mengusap lembut punggung Bianca, menenangkan tapi juga mengingatkan kekuasaannya. "Tandatangani saja, dan dia akan mendapatkan masa depan yang lebih baik."

Bianca menghela napas, tangannya gemetar saat ia memegang pena. Setiap kata di surat itu seperti beban yang menekan dadanya. Demi William, batinnya. Dengan perlahan, ia menuliskan namanya di atas kertas, merasa seperti baru saja menyerahkan sebagian besar dari dirinya.

Richard tersenyum tipis, puas. Semua berjalan sesuai rencana.Richard memeluk Bianca dari belakang, merapatkan tubuhnya ke punggung sempit perempuan itu. Kepalanya disandarkan lembut di bahu Bianca, namun kata-katanya terasa dingin dan tegas, seperti peringatan yang tidak bisa diabaikan.

"Ingat, Bianca," suaranya rendah, penuh perintah. "Semua sesuai perjanjian. Kau harus melepaskannya, apapun yang terjadi."

Bianca menunduk, hatinya serasa terbelah.

"Dan jangan pernah menyebut nama pria itu lagi," lanjut Richard, menekankan kalimatnya dengan desahan tipis, menuntut kepatuhan penuh. Bianca tahu, di balik kehangatan pelukan ini, ada kekuatan besar yang bisa menghancurkannya jika ia melawan.

Ia hanya bisa mengangguk pelan, menyembunyikan air mata yang nyaris tumpah.Bianca segera beranjak dari pangkuan Richard, merasakan ketegangan yang menyelimuti ruangan ketika suara ketukan pintu terdengar.

"Tuan Richard, nyonya Irene mencari Anda," kata salah satu pelayan, suaranya tegas namun penuh rasa hormat.

"Biarkan dia masuk," jawab Richard, suaranya tenang meskipun ada ketegangan yang jelas antara mereka.

"Saya permisi, tuan," ucap Bianca, berusaha menjaga kesan profesional sambil menundukkan kepala. Ia merasa tidak nyaman, masih merasakan dampak dari interaksi mereka sebelumnya.

Begitu Bianca bergerak menjauh, suara langkah sepatu heels mulai terdengar mendekat. Irene, wanita berpenampilan anggun dan percaya diri, memasuki ruangan. Tatapan matanya langsung tertuju pada Bianca, meneliti setiap detail.

"Tunggu, siapa namamu?" tanyanya, suaranya terkesan menginterogasi.

"Bianca, nyonya," jawab Bianca, berusaha tidak menunjukkan kegugupannya.

"Baiklah, kau boleh pergi," Irene memutuskan, suaranya tidak memberi ruang untuk penolakan.

"Saya permisi," Bianca segera mundur, merasakan pandangan tajam Irene mengikuti setiap langkahnya saat ia meninggalkan ruangan itu. Begitu pintu tertutup, ia merasa lega, namun juga cemas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya di antara Richard dan Irene.

Bianca menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya saat pintu ruang kerja Richard tertutup di belakangnya. Jantungnya berdebar kencang, dan rasa takut mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Tatapan tajam Irene masih terbayang di benaknya, seolah-olah menyelidiki setiap gerak-geriknya.

"Apa yang dia tahu?" pikir Bianca, cemas. Ia merapatkan tangan di dadanya, berharap tak ada sesuatu yang mencurigakan yang bisa dipermasalahkan oleh Irene.

Bianca melangkah cepat di lorong yang sepi, rasa takut dan gugup terus mengikutinya, sementara pikirannya berkecamuk tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

My Maid 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang