Setelah pagi yang penuh gairah, Bianca duduk termenung di kamar yang kini terasa begitu asing. Pikiran-pikirannya berlari liar, dipenuhi kebingungan dan perasaan bersalah. Ia tahu apa yang telah terjadi tidak bisa diubah, dan kini dia terjebak dalam kontrak yang semakin menjerat.
Richard, dengan segala karismanya, pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis. Ketika Bianca melihatnya pergi dari jendela, ada perasaan lega yang samar, tapi juga kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hari-hari berlalu dengan lambat. Bianca tetap melaksanakan tugasnya seperti biasa, namun pikirannya selalu melayang pada William, yang masih terbaring koma di rumah sakit. Satu sore, setelah menyelesaikan pekerjaannya, Bianca memutuskan untuk mengunjungi William. Ia tahu bahwa hanya dari luar ruangan ia bisa melihatnya, tapi itu cukup untuk mengobati rindu yang mendalam.
Saat sampai di rumah sakit, Bianca berhenti di depan pintu kaca ICU. Dari balik kaca, ia bisa melihat tubuh William yang diam tak bergerak, dikelilingi oleh berbagai alat medis. Air mata menggenang di matanya. Hatinya hancur melihat orang yang sangat dicintainya terbaring tak berdaya.
Bianca berdiri di sana beberapa menit, menguatkan diri untuk tidak masuk. "Aku akan menemukan cara untuk membebaskanmu, William," bisiknya dalam hati. "Aku akan menemukan jalan keluar."
Setelah meninggalkan rumah sakit, Bianca memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak. Tanpa disadari, kakinya membawanya ke taman tempat ia dan William pertama kali bertemu. Tempat itu penuh dengan kenangan manis, penuh dengan tawa dan canda. Bianca duduk di bangku yang biasa mereka duduki bersama, memejamkan mata dan membiarkan dirinya larut dalam kenangan.
Ia ingat hari itu dengan jelas. William sedang duduk membaca buku ketika Bianca pertama kali melihatnya. Tatapan mereka bertemu, dan seketika ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Senyum William yang hangat dan cara dia berbicara membuat Bianca merasa nyaman dan aman.
Bianca menghela napas panjang, merasa seolah-olah dunia telah berubah begitu banyak sejak hari itu. Sekarang, dia harus menghadapi realitas yang keras dan mencari cara untuk melepaskan diri dari jeratan yang membuatnya tak berdaya.
Dengan tekad yang mulai menguat, Bianca bangkit dari bangku taman. Dia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah, tapi demi William dan masa depan mereka, dia harus berjuang. Bianca berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari jalan keluar, tidak peduli betapa sulitnya.
---
Flashback: Pertemuan Pertama
Bianca berjalan dengan langkah cepat menuju halte bus, berharap bisa tiba tepat waktu untuk bekerja. Hari itu adalah hari yang sibuk di kafe tempatnya bekerja paruh waktu, dan dia tidak ingin terlambat. Ketika dia mendekati halte, dia melihat seorang pria muda duduk di bangku, asyik membaca buku.
Dia tampak begitu tenggelam dalam bacaannya hingga tidak menyadari kehadiran Bianca yang datang dan duduk di sampingnya. Bianca mencuri pandang, merasa penasaran dengan buku yang dibaca pria itu. Dia berusaha untuk tidak terlalu mencolok, tapi ketertarikannya terlalu besar.
"Judul bukunya menarik," kata Bianca, mencoba memulai percakapan.
Pria itu mengangkat pandangannya, terkejut sejenak sebelum tersenyum. "Oh, ini? Ya, ini buku favorit saya," jawabnya ramah. "Kamu suka membaca juga?"
Bianca mengangguk. "Ya, meskipun akhir-akhir ini tidak punya banyak waktu untuk itu. Apa buku itu tentang apa?"
Pria itu menutup bukunya sejenak, memperlihatkan sampulnya yang bertuliskan "Journey to the Heart" oleh seorang penulis terkenal. "Ini tentang perjalanan seseorang menemukan makna hidupnya dan cinta sejati di tempat yang tak terduga."
Bianca tersenyum. "Kedengarannya menarik. Saya selalu tertarik dengan cerita seperti itu."
"Namaku William, omong-omong," katanya, menyodorkan tangan untuk berjabat.
"Bianca," balasnya, menjabat tangan William dengan lembut.
Sejak pertemuan pertama itu, Bianca dan William sering bertemu di halte bus yang sama. Percakapan mereka berkembang dari obrolan ringan tentang buku menjadi diskusi yang lebih mendalam tentang impian dan harapan masing-masing. Mereka menemukan bahwa mereka memiliki banyak kesamaan, termasuk kecintaan pada musik dan film klasik.
Suatu hari, setelah beberapa minggu mengenal satu sama lain, William mengajak Bianca untuk berjalan-jalan di taman kota setelah kerja. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan di taman setelah kamu selesai bekerja? Ada tempat favorit saya yang ingin saya tunjukkan padamu," tawarnya.
Bianca setuju, merasa senang dengan ide itu. Sore itu, mereka berjalan bersama menuju taman. William membawanya ke sebuah bangku yang tersembunyi di sudut taman, di bawah pohon besar. "Ini tempat favoritku," katanya. "Di sini aku bisa duduk dan membaca dengan tenang."
Bianca tersenyum. "Tempat ini memang indah. Terima kasih sudah mengajakku ke sini."
Mereka duduk di bangku itu, menghabiskan waktu berbicara dan tertawa, mengenang cerita-cerita masa lalu dan berbagi mimpi tentang masa depan. Hari itu, di bawah naungan pohon besar di taman, Bianca menyadari bahwa perasaannya terhadap William semakin dalam. Dia merasa nyaman dan aman di dekatnya, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Hubungan mereka terus berkembang sejak hari itu. William selalu tahu bagaimana membuat Bianca tersenyum, dan Bianca menemukan teman sejati dalam diri William. Mereka saling mendukung satu sama lain, melewati berbagai tantangan hidup bersama.
Dan di taman itulah, tempat mereka pertama kali merasakan benih-benih cinta yang tulus, hubungan mereka berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar persahabatan. Bianca tahu bahwa William adalah seseorang yang istimewa, seseorang yang ingin dia pertahankan dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Maid 21+
Genç Kurgu21+ Demi membayar biaya perawatan kekasihnya yang sedang Koma akibat kecelakaan, Bianca terjebak menjadi Maid di Rumah mewah milik keluarga Richard Allexander. Tanpa bianca sadari hidupnya sudah sepenuhnya milik Richard tanpa bisa pergi darinya "Say...