28. Kuasa

18.1K 348 146
                                    

Pagi itu terasa begitu sunyi, hanya menyisakan sisa-sisa jejak air mata yang masih membasahi pipi Bianca. Ia terbaring di kasur, meringkuk seperti janin, tubuhnya menggigil dalam ketelanjangan yang tak berdaya. Luka di hatinya terasa semakin dalam, membekukan setiap harapan yang pernah ia simpan dalam diam.

Suara pintu terbuka perlahan. Bianca menoleh, dan hatinya mencelos saat melihat sosok Richard berdiri di ambang pintu. Tubuhnya bergetar, rasa takut yang tak terelakkan mencengkeram seluruh dirinya. Tatapannya bertemu dengan mata Richard yang dingin dan tak terbaca, namun menyimpan kuasa yang membuatnya semakin merasa terkepung.

Richard berjalan mendekat, tak mengalihkan pandangan dari Bianca.Dengan tubuh yang masih lemah dan gemetar, Bianca perlahan bangkit dari kasur. Kakinya terasa berat, namun ia memaksa dirinya untuk berlutut di hadapan Richard. Ia menunduk dalam-dalam, kedua tangannya menyatu, memohon ampun di bawah kaki pria itu.

"Tu...an," suaranya bergetar penuh ketakutan, "maafkan saya... Maafkan saya..."

Air matanya kembali mengalir, membasahi pipinya yang sudah pucat. Bianca tidak berani menatap wajah Richard, takut akan respons yang mungkin diterimanya. Ia berharap bahwa dengan menunjukkan penyesalannya, Richard akan melunak-namun tatapan dingin Richard yang menatapnya dari atas justru semakin membuatnya merasa kecil dan tak berdaya.

Bianca menunduk, ketakutan yang mendalam menyelimuti hatinya. Satu pikiran menghantuinya: jika Richard marah, mungkin ia akan menghentikan pengobatan William. William, pria yang pernah menjadi seluruh dunianya, kini hanya bisa bertahan hidup berkat bantuan medis yang mahal-semua itu ada di tangan Richard.

"Maafkan saya, Tuan... Saya akan melakukan apa saja yang Anda inginkan...," suaranya nyaris tak terdengar, serak dan penuh rasa putus asa.

  Bianca menahan napas, berharap agar permohonannya mampu menyentuh sisi belas kasihan yang jarang terlihat dari sosok Richard. Namun tatapan pria itu tetap dingin, memandangnya dengan sorot yang penuh kuasa dan penghakiman.

Richard menatap Bianca dengan mata tajam sebelum menariknya ke arah ranjang. Gerakannya tegas, membuat Bianca tidak bisa menolak ataupun menghindar. Ia merasa tubuhnya semakin lemah, terjerat dalam ketidakberdayaan yang mencekam.

"Maka jangan memancing amarahku, Bianca," suara Richard rendah dan dingin, penuh ancaman yang tak perlu ia perjelas. Bianca hanya bisa menatapnya, bibirnya gemetar mencoba berkata, namun tak satu pun kata mampu keluar.

Ia terbaring dengan mata menatap ke arah lain, berusaha menenangkan napasnya yang tersengal oleh ketakutan.

Richard menarik napas panjang, duduk di tepi ranjang sambil memandang Bianca yang terbaring di sana. Ia menunggu, meneliti setiap ekspresi di wajah Bianca yang tampak ketakutan. "Apa yang sakit?" tanyanya, suaranya rendah dan penuh tekanan.

Bianca menelan ludah, berusaha meredakan keraguan yang mengganggu. Ia tahu Richard tidak bertanya hanya sekadar basa-basi; ini adalah ujian yang harus ia hadapi.

"Tidak ada, Tuan," jawabnya akhirnya, meski ia tahu jawabannya mungkin tidak memuaskan Richard. Air mata mulai menggenang di matanya.

Richard beralih, melebarkan kedua kaki Bianca dengan paksa. Tangannya menyentuh area vaginanya, dan Bianca tak bisa menahan suara yang keluar dari mulutnya. "Auu..." teriaknya, suara kesakitan bercampur rasa tertekan.

"Di situlah sakitnya, Bianca," Richard berkata, suaranya berubah lebih tegas. "Aku benci orang yang berbohong."

Bianca merasakan ketakutan semakin menguasai dirinya. Ia tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi ini. Air matanya mengalir, wajahnya dipenuhi rasa ketidakberdayaan dan kepedihan. Ia hanya bisa berharap bahwa Richard tidak akan melakukan hal yang lebih buruk lagi.

My Maid 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang