29. Kabar William

13.3K 371 29
                                    

Richard melangkah masuk ke kamar Bianca. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh sinar matahari sore yang menyusup dari sela-sela tirai. Sepi dan hening, suasana kamar itu mencerminkan jiwa Bianca yang terasa hampa. Di atas ranjang, Bianca terbaring diam dengan pandangan kosong tertuju ke dinding, seakan tak sadar akan kehadirannya.

Tanpa suara, Richard berjalan mendekat dan naik ke atas ranjang. Perlahan, ia membungkuk dan memeluk Bianca dari belakang, tubuhnya yang dingin menyentuh kulit Bianca. Aroma khas Richard segera memenuhi indra penciumannya, namun Bianca tetap tak bereaksi. Matanya masih terpaku pada satu titik di dinding, tak ada tanda kehidupan dalam tatapannya.

Richard mendekatkan bibirnya ke rambut Bianca, mencium aroma lembut yang memudar seiring waktu. “Bianca,” panggilnya pelan, suara lembutnya seolah mencoba menembus benteng dingin di sekeliling wanita itu. Tak ada jawaban, hanya keheningan yang menyelimuti mereka.

“Maafkan aku,” bisiknya, nadanya terdengar lirih namun penuh ironi. Ia berharap kalimat itu bisa menggoyahkan Bianca, membuatnya bereaksi, meski hanya sedikit. Namun, Bianca tetap diam, tubuhnya kaku seperti patung yang kehilangan jiwa.

Richard tersenyum tipis, senyum yang sarat akan keangkuhan dan kemenangan. Tangan dinginnya mengusap rambut Bianca, mempermainkan helai-helai rambutnya seakan menegaskan dominasinya. “Bukankah kau ingin tahu kabar pria itu?” bisiknya, suara tajamnya kini berubah menusuk, mencoba menggali reaksi dari Bianca.

Untuk sesaat, ada perubahan di mata Bianca—seberkas kilatan yang hilang secepat datangnya. Tapi hanya itu, tak ada gerakan, tak ada kata, seolah pertahanan terakhir dalam dirinya menolak untuk runtuh di hadapan pria yang telah merenggut segalanya. Richard tetap memandangnya dengan senyum dingin, menikmati momen itu, mengetahui bahwa ia masih memegang kendali.

Di dalam kamar yang sunyi, hanya terdengar napas Richard yang teratur dan denting jam yang berirama pelan, mengisi ruangan dengan ketegangan yang tak kasatmata.Bianca menggigit bibirnya, hatinya berdebar kencang hingga ia merasa sulit bernapas.

Tangannya yang gemetar meremas kain selimut yang membungkus tubuhnya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melangkah. Richard duduk di kursi dekat jendela, punggungnya tegap dengan sikap santai namun penuh kendali. Tatapan matanya yang tajam dan penuh perhitungan terus mengawasi Bianca, seolah tak ingin melewatkan sedikit pun gerakan darinya.

Richard mengeluarkan ponselnya, memainkannya dengan satu tangan sambil sesekali melirik ke arah Bianca. “Sepertinya kau tidak mau,” ujarnya dengan nada dingin, senyum kecil mengintip di sudut bibirnya, menantang dan memancing reaksi.

“A... aku mau,” jawab Bianca dengan suara serak, hampir tak terdengar. Hatinya terasa seperti terjepit di antara ketakutan dan keputusasaan. Ia tahu bahwa ini mungkin satu-satunya cara untuk mendapatkan kabar tentang William, pria yang selalu ada dalam hatinya.

Richard menurunkan ponselnya perlahan, tatapannya melembut namun tak kehilangan ancamannya. “Kemarilah, sayang,” ucapnya dengan nada yang lebih lembut, seolah membujuk, namun ada ketegasan yang tidak bisa diabaikan.

Bianca menelan ludah, kaki-kakinya terasa berat saat ia berusaha berdiri. Langkahnya pelan dan ragu, tetapi ia mendekat, mendapati dirinya semakin terjebak dalam permainan yang tak pernah ia pilih.

Bianca menunduk dalam ketika sampai di hadapan Richard. Napasnya terasa pendek-pendek, jantungnya berdebar kencang hingga terasa sakit. Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Richard menarik tangannya, membawanya duduk di pangkuannya dengan satu gerakan cepat. Bianca merasakan tubuhnya ditarik dekat, tubuh yang gemetar itu segera disambut oleh dekapan erat Richard.

Richard mendekatkan wajahnya ke leher Bianca, menghirup aroma khasnya dengan perlahan. Bibirnya menyentuh kulit Bianca, memberikan ciuman yang terasa dingin dan menakutkan. Bianca menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang berkecamuk antara ketakutan dan kebencian. Richard tersenyum tipis, merasakan bagaimana tubuh wanita itu kaku dalam pelukannya.

My Maid 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang