Pagi itu, Bianca terbangun dengan perasaan samar, matanya mengerjap menyesuaikan diri dengan cahaya pagi. Saat ia memandang sekeliling, ia menyadari dirinya berada di dalam mobil Richard, yang terparkir di halaman villa. Tubuhnya terasa letih, tapi ia mencoba mengumpulkan kesadaran dan bertanya-tanya, "Kenapa aku di sini?"
Tak lama, pintu mobil di sebelahnya terbuka, Richard masuk dengan ekspresi serius di wajahnya. Ia tampak lebih dingin dari biasanya, tanpa banyak basa-basi.
"Tuan, kita mau ke mana?" tanya Bianca pelan, masih dalam keadaan setengah sadar.
"Pulang," jawab Richard singkat, suaranya tegas dan tanpa emosi. Bianca hanya bisa mengangguk kecil, menahan rasa bingung yang mulai menyusup ke dalam dirinya.
Suasana di dalam mobil menjadi sunyi, hanya terdengar suara mesin yang menyala. Hingga tiba-tiba, telepon Richard berdering. Bianca bisa merasakan ketegangan di udara saat Richard menjawab panggilan itu dengan nada tidak sabar.
"Sudah kubilang untuk mengurusnya lebih dulu selama aku pergi!" teriak Richard, nadanya penuh kemarahan.
Bianca menoleh, melihat wajah Richard yang dipenuhi dengan kemarahan dan frustasi. Ia mendengarkan bagaimana Richard terus memarahi orang di seberang telepon.
"Apa kalian tak becus, hah?!" bentak Richard lagi sebelum membanting telepon itu ke kursi belakang. Suara keras membuat Bianca tersentak sedikit, namun ia tak berani mengatakan apa-apa.
Richard kemudian menginjak pedal gas dengan keras, mobil itu melesat dengan kecepatan tinggi. Bianca bisa merasakan bagaimana Richard menggenggam setir dengan penuh emosi, jarinya memutih karena terlalu kuat menahan kemarahan.
Ini baru hari ketiga mereka di villa, dan rencananya mereka akan tinggal selama empat hari lagi. Namun, dari nada suara Richard dan emosinya yang tidak terkontrol, Bianca bisa merasakan bahwa sesuatu yang serius sedang terjadi.
Bianca hanya bisa duduk diam, perasaannya bercampur aduk antara takut, bingung, dan cemas. Sementara itu, mobil terus melaju cepat di jalan yang berkelok, seakan mencerminkan amarah yang menguasai Richard saat ini.Tiga jam perjalanan berlalu, dan akhirnya mereka sampai di rumah megah milik Richard. Bangunan itu menjulang tinggi dengan pilar-pilar besar dan halaman luas, menambah kesan mewah dan berkuasa. Di depan pintu masuk, seorang laki-laki dengan penampilan rapi dan profesional, sekretaris Richard, sudah menunggu dengan wajah tegang. Begitu mobil berhenti, tanpa ragu, ia segera membuka pintu untuk Richard.
Wajahnya menunduk, takut pada kemarahan yang jelas terpancar dari ekspresi Richard.
Richard keluar dari mobil dengan langkah cepat, ekspresinya masih penuh dengan kemarahan yang belum mereda sejak panggilan telepon tadi. Sekretarisnya tidak berkata apa-apa, hanya mengikuti di belakangnya. Keduanya masuk ke mobil hitam yang biasa digunakan Richard untuk ke kantor. Mobil itu langsung melaju tanpa menunggu lebih lama.
Bianca, yang menyaksikan semuanya dari dalam mobil, merasa canggung dan bingung. Richard tidak memberinya kesempatan untuk bertanya atau bicara sejak mereka tiba.
Bianca keluar dari mobil, ia masuk ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengganti pakaiannya dengan seragam maid, kembali pada rutinitasnya kembali.
Meskipun Richard telah membawanya dalam berbagai pengalaman baru, di rumah besar ini ia tetap seorang pelayan.
Namun, pandangan sinis dari beberapa maid yang lain membuat Bianca merasa tak nyaman. Mereka seolah menatapnya dengan rasa iri, dan mungkin juga kebencian, mengingat ia di perlakukan khususnya di sini.
Sore hari, kepala pelayan Hans menghampirinya dengan wajah tenang namun penuh wibawa. "Nona Bianca," ucapnya, suaranya rendah namun penuh kehormatan, "Anda mendapatkan cuti besok. Manfaatkanlah waktu Anda dengan baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Maid 21+
Teen Fiction21+ Demi membayar biaya perawatan kekasihnya yang sedang Koma akibat kecelakaan, Bianca terjebak menjadi Maid di Rumah mewah milik keluarga Richard Allexander. Tanpa bianca sadari hidupnya sudah sepenuhnya milik Richard tanpa bisa pergi darinya "Say...