Dasi 41

2.6K 231 86
                                    

Selamat membacaaaa~




Tanpa banyak bicara, Pak Wis melepaskan jas dan meletakkannya di pundak Rayyan yang basah kuyup kena air pel. Pria itu merangkul pundak Rayyan, membawanya pergi dari kerumunan.

Karyawan segera minggir memberi jalan.

Mas Dicky ikut menyingkir, dengan sedikit berdesah, "Ihh sumpah adegan drakor banget, Pak Wis."

Sebelum Pak Wis dan Rayyan berbelok dari koridor, Pak Wis berteriak, "Siapa yang ngerekam tadi?! Bakal kena SP kalo rekaman enggak dihapus!"

Karyawan yang tadi diam-diam merekam langsung pucat.

Sepertinya rekaman mereka tadi sudah telanjur diunggah ke media sosial dan dilihat banyak orang. Beberapa jam dari sekarang beberapa media akan menggunggah video itu dan mungkin akan viral.

Pak Wis menggiring Rayyan masuk ke ruangan kantornya. 

Sunyi, hanya ada Pak Wis, Rayyan, dan Pak Arian yang menyusul belakangan. Baru saja Rayyan duduk di sofa, dia ingin berdiri lagi.

Pak Wis menahan tangan Rayyan, memintanya duduk kembali ke sofa.

"Saya gapapa, Pak," kata Rayyan. "Cuma tadi ember pelnya tumpah, saya harus bersihin dulu ... nanti ada yang kepleset, dan saya mau ganti baju dulu. Sofanya nanti kotor."

"Santai, Mas di sini aja dulu, diobatin dulu. Sofanya bisa diganti kulitnya nanti. Si Abang enggak akan keberatan." Terkekeh, Pak Arian meletakkan kotak P3K di meja. "Itu bibirnya berdarah, Mas."

Rayyan mengusap darah di sudut bibirnya sambil menatap Pak Wis di hadapannya.

Pak Wis berlutut di hadapan Rayyan, tangannya meraba tubuh Rayyan, dari wajah ke leher, dada ke perut, memastikan mana saja yang luka. Lalu, tatapan matanya kembali ke wajah, matanya agak berkaca saat melihat bibir Rayyan berdarah.

Rayyan jadi tak bisa bergerak, menahan napas.

Karyawan masih kepo. Mereka berkumpul di luar ruangan kantor Pak Wis untuk mengintip apa yang sedang terjadi. Mas Dicky yang paling depan sampai jidatnya menempel di kaca jendela (berharap melihat adegan drakor homo, mungkin).

Pak Arian menghela napas, menutup tirai jendela, lalu menegur gerombolan karyawan. "Hayo! Pada ngapain? Bubar-bubar!"

Tanpa kata, Pak Wis mengambil kain kasa dari kotak P3K. Tangan besarnya yang biasanya tegas kini bergerak dengan lembut.

Rayyan masih merasakan denyut perih di bibirnya. Pak Wis menekan lembut bibir Rayyan dengan kain kasa yang sudah dibasahi air, membersihkan darah yang mulai mengering. Ini seorang CEO yang sedang mengobati office boy-nya. Memangnya ada drakor homo dengan adegan seperti ini?

Pak Wis menyapukan sedikit salep antibiotik di ujung jarinya sebelum menempelkannya pada luka di bibir. Rasanya perih, tetapi dingin menenangkan.

Pak Wis diam selama melakukannya. Rayyan pun diam. Sesekali mata mereka bertemu, seperti bercermin, tetapi ada sesuatu dalam bola mata itu yang Rayyan tak ingin lihat. Rayyan melirik ke samping untuk menghindarinya. Jantungnya berdebar tak aman kalau melihat lama-lama.

Rayyan menahan napas ketika jari-jari Pak Wis menari lembut di atas bibirnya. Bukan hanya perih yang dirasakannya—ada rasa hangat. Saat memasang kompres dingin, Rayyan baru menyadari jemari Pak Wis gemetar sedikit.

"Saya bisa sendiri." Rayyan mencoba bangkit lagi, tersenyum tipis. "Makasih, Pak Wis. Makasih juga, Pak Arian."

Namun, sebelum Rayyan berhasil bangkit dari sofa, Pak Wis keras menahan pergelangan tangannya.

Tampan Berdasi (MxM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang