Selamat malmingan dengan Pak Wis dan Mas Rayyan.
Aku rada ambruk minggu lalu jadi baru bisa update lagi minggu ini.
Follow IG Rashoura, ya, supaya kamu gampang ngecek update dariku. Kalau tiba-tiba aku gak update, gak pada kecarian. @ ra_shou
Pagi. Rayyan bangun tidur dan melihat debu halus yang beterbangan di atas mukanya. Sorot lampu menyinari debu-debu itu. Seperti debu bintang yang indah menari di angkasa.
Rayyan menoleh ke samping dan melihat Mang Tito tidur memeluk guling. Wajah Mang Tito terlihat tampan berseri. Begitu juga Pak Misno, kelihatan lebih tampan dengan kumis tipis ala Don Juan Jawa.
Nakas di samping ranjang, meski catnya agak mengelupas di tepian karena sering terpentok saat digeser, juga terlihat indah.
Semua terlihat indah.
Kenapa, ya?
Rayyan linglung turun dari ranjang, seakan semalam baru saja terbang main di awan-awan dan pagi ini ringan. Ada debaran jantung menyenangkan, mengiringi langkah Rayyan pergi ke kamar mandi. Guyur muka dengan air. Sikat gigi. Matanya masih kiyep-kiyep karena kantuk. Rayyan bercermin dan melihat wajah sendiri.
Saat itulah Rayyan menyadari keanehan.
Ada memar di sudut bibirnya.
Hah?
...
Ah.
Tadi malam ....
Rayyan kehilangan beberapa persen kemampuan otaknya untuk berpikir. Agak sulit berpikir jernih. Berpikir keruh pun sulit. Kosong begitu saja. Seperti kembali ke zaman komputer prosesor Intel Pentium generasi satu tahun 90-an, loading yang sangat lama ketika Pak Wis menarik tubuhnya, membalas cium lebih lekat.
Mereka berciuman entah berapa lama. Sensasi bibir bertemu bibir, yang hangat, kenyal, basah. Ia bisa merasakan ketika Pak Wis menggigit tepi bibirnya, dengan sedikit geraman, lalu kedua lidah bertemu. Ia bisa merasakan hangat di kulit pipi Pak Wis, yang sedikit memerah. Napasnya wangi minuman kelapa jeruk yang diteguknya setelah makan malam. Bunyi tersengau di hidungnya. Dan yang paling keras di antara semua itu adalah debaran jantung mereka.
Rayyan lupa siapa yang lebih dulu berhenti untuk menarik napas.
Ada saling pandang dalam diam. Sejenak. Ada kalanya Rayyan tidak bisa terlalu lama memandang mata Pak Wis. Jadi, Rayyan menatap menembus bahu Pak Wis yang lebar, ke garis pantai yang basah oleh ombak gelap. Lalu, saat Rayyan menatap mata Pak Wis lagi, dilihatnya pria itu mengerlingkan mata dan ada rona hangat di pipinya.
Mereka diam cukup lama.
Apa yang disebut awkward. Mungkin lebih dari itu.
"Maaf, Pak," desah Rayyan lagi untuk mengisi kekosongan.
Pak Wis tidak membalas. Pelupuk matanya agak menurun.
Apakah Pak Wis menyesal?
Bukan. Pak Wis terlihat malu.
Rayyan juga merasa malu sebenarnya. Lucu. Seolah mereka terbang kembali ke masa seragam putih abu-abu. Masih baru mencicipi ciuman sesama lelaki. Masih merasa canggung, takut salah menggesekkan dan mengatupkan bibir.
"Y-ya, maaf juga—oke saya balik dulu," kata Pak Wis dengan telinganya yang memerah, bangkit dari kursi.
Rayyan spontan ikut bangkit dari kursi. "Iya, Pak—"
Dan mereka hampir bertubrukan.
Rayyan refleks memegangi pinggang Pak Wis, lalu melepaskannya.
"Maaf lagi," kata Rayyan, tak tahu harus bilang apa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tampan Berdasi (MxM)
RomansaOrang yang paling kamu hindari sejak zaman sekolah adalah bosmu di kantor. Orang yang kamu benci semasa sekolah menjadi office boy di kantormu. Ini kisah dua pria yang harus belajar menerima masa lalu.