Selamat menikmati.
Nikmati malam yang khidmat ini dengan secangkir teh hangat sambil baca TB.
Geser sofa bed, buka lipatannya, dan bentangkan. Rayyan menungging gagah untuk memasang seprai yang sudah harum pewangi. Bantal dan guling ia sarungi, lalu bentangkan selimut. Sofa bed siap ditiduri.
Pak Wis diam menatap Rayyan yang sedang memasang seprai sebentar, lalu ia meletakkan ransel di sofa dan langsung mencopot satu demi satu pakaiannya. Karena sudah terlalu lelah, Pak Wis santai saja buka baju di depan Rayyan, berganti kaus tidur.
Rayyan tercenung sebentar melihat Pak Wis ganti baju, lalu menunduk melihat seprai. Cool.
"Ini sudah, ya, Pak," kata Rayyan, menepuk sofa bed itu.
"Makasih, ya, Mas. Sori ngerepotin."
"Mau saya buatkan teh? Mau pesan makan?"
"Boleh, Mas."
"Mau makan apa?"
"Hmm."
"Nasi padang? Saya bisa jalan ke resto depan."
"Delivery aja? Kasian Mas-nya juga capek." Pak Wis naik ke sofa, merenggangkan dan menyelonjorkan kaki. "Saya mau teh aja. Teh manis anget."
"Baik, Pak. Saya buatkan dulu. Habis itu saya beli nasi padang."
"Hm." Kalau dari suaranya, Pak Wis terdengar letih sekali. "Kalau saya ketiduran, nanti bangunkan, ya."
Ini malam yang hening dan tenang.
Hanya terdengar suara lembut detak jam dinding yang bergema di ruangan yang hampir gelap. Lampu-lampu kantor sebagian besar dipadamkan, menyisakan hanya beberapa yang masih menyala redup di sudut-sudut ruangan.
Di gedung ini hanya ada dirinya dan Pak Wis.
Berdebar? Oh, rasanya ingin jungkir balik.
Di sisi lain, ada rasa sendu yang muncul saat Rayyan menyalakan lampu pantry. Ini tempat Rayyan biasa melarikan diri, zona nyaman. Berbulan-bulan di tempat ini Rayyan sering membuatkan teh untuk Pak Wis dengan rasa kalut, takut mengantarkan teh ke ruangannya, tetapi juga berdebar penuh harap. Campur aduk.
Malam ini hanya ada rasa tenang yang bahagia seolah semua yang pernah terjadi di kantor ini hanya mimpi buruk.
Apakah Rayyan pantas merasakan ketenangan ini?
Rayyan mengisi teko dengan air mineral yang jernih, menyalakan kompor, dan meletakkan teko di atasnya. Selagi menunggu air mendidih, ia mengambil kotak teh celup dan mug kucing kesayangan Pak Wis. Mug kucing ini sering Rayyan usap dengan senyum sedih. Mug yang mengangkat banyak memori yang Rayyan tak ingin ingat. Memori baik. Memori buruk.
Andaikan yang muncul hanya memori baik saja, menjalani hidup bisa lebih mudah.
Gemuruh halus dari air yang mendidih terdengar. Rayyan mematikan kompor dan menuangkan air panas ke sebuah teko kecil. Ia biarkan menyeduh selama beberapa menit, kemudian menambahkan gula. Dengan hati-hati ia menuangkan teh panas ke dalam mug kucing dan meletakkannya di atas nampan bersama kepingan biskuit di piring kecil.
Kembali ke ruangan Pak Wis, Rayyan tersenyum lebar. "Permisi, Pak Wis. Tehnya sudah siap—"
Saat Rayyan masuk, Pak Wis betulan ketiduran di sofa. Ah, Pak Wis pasti kecapaian sekali.
Rayyan meletakkan nampan di meja, lalu duduk berlutut di samping sofa bed. Dengan sangat berhati-hati Rayyan menyentuh pundak Pak Wis, menepuk lembut. "Pak Wis ...?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tampan Berdasi (MxM)
RomantikOrang yang paling kamu hindari sejak zaman sekolah adalah bosmu di kantor. Orang yang kamu benci semasa sekolah menjadi office boy di kantormu. Ini kisah dua pria yang harus belajar menerima masa lalu.