"Bukan perkara siapa yang paling benar, tapi tentang bagaimana aku bisa mengendalikan amarahku agar tidak melukaimu"
***
"Sayang," panggil Dikta dengan raut wajah khawatir.
Nala masih berada di atas tempat tidur. Berbaring dengan posisi membelakangi Dikta. Ia sama sekali tidak menjawab panggilan Dikta. Bahkan ia tidak berbalik sama sekali.
"Sayang," ucap Dikta kembali.
Kini Dikta mendekat pada Nala. Laki-laki itu mengusap lengan Nala dan mencium istrinya itu. Dikta tidak sadar jika Nala baru saja menghapus air matanya kemudian berpura-pura untuk tidur.
Nala belum siap untuk berbicara dengan Dikta. Karena jika ia berbicara saat ini maka tidak ada kata yang bisa keluar. Hanya tangisan yang akan terdengar dari mulut Nala.
Dikta memandangi wajah istrinya itu. Dikta jadi sadar ada bekas air mata di pipi Nala.
"Kasian istri aku, pasti tadi sakit ya. Kamu sampai nangis gini," ujar Dikta mengusap pipi Nala. Kemudian mencium istrinya itu berkali-kali.
Sementara Nala sudah bersusah payah untuk tetap tertidur. Berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah. Berusaha menahan amarah yang menguasai dirinya.
Dikta memilih membiarkan Nala untuk beristirahat. Ia kini beranjak menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Saat Dikta masuk ke kamar mandi, Nala segera beranjak keluar kamar.
"Nadin," panggil Nala pada adiknya itu.
"Kamu nginapnya besok aja ya."
"Loh, kenapa gitu kak?" tanya Nadin.
"Besok aja, kakak udah minta Aska buat antar kamu."
Nala meminta Nadin untuk pulang karena ia tidak mau adiknya itu mengetahui permasalahan antara dirinya dan Dikta.
"Yaudah kalau gitu."
Tanpa banyak protes lagi, Nadin menuruti ucapan kakaknya. Aska datang untuk menjemput Nadin, kemudian mereka pergi bersama meninggalkan rumah Nala dan Dikta.
Tidak lama setelahnya, Dikta keluar dan mencari keberadaan Nala. Dilihatnya Nala sedang menata meja makan untuknya. Namun, Dikta merasa aneh karena Nala tidak menyapa dirinya sama sekali.
"Sayang," panggil Dikta pada Nala yang kini duduk di depannya.
"Perut kamu masih sakit?" tanya Dikta menggenggam tangan Nala. Istrinya itu hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Kamu lagi nggak enak badan?" tanya Dikta kembali karena melihat ada yang berbeda dari Nala. Lagi dan lagi Nala hanya menggeleng.
Akhirnya Dikta memilih berdiri dan menghampiri Nala. Dikta segera membawa Nala ke dalam pelukannya. Sementara Nala tidak membalas pelukan Dikta.
"Kamu makan, aku mau ke kamar," ucap Nala menghentikan gerakan Dikta yang hendak mengusap perutnya.
Tanpa persetujuan Dikta, Nala segera pergi meninggalkan suaminya itu. Dikta tidak tinggal diam, ia segera mengejar Nala ke dalam kamar.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Dikta segera duduk di samping Nala.
"Gapapa," jawab Nala singkat.
"Kamu nggak kayak biasanya, bahkan kamu nggak senyum sama sekali ke aku."
Nala segera memutar tubuhnya kemudian memberikan senyuman untuk Dikta. Bukan, bukan senyuman seperti itu yang Dikta maksud.
"Gimana, di kantor aman?" tanya Nala tiba-tiba membahas kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Harus Bersama
Diversos"Disatukan karena persahabatan, berpisah setelah pacaran dan kembali ditakdirkan dalam ikatan pernikahan" Nala tidak pernah berpikir bahwa ia akan kembali terikat dalam sebuah hubungan dengan Dikta. Setelah lima tahun mereka memilih jalan masing-mas...