Membuat Perhitungan

481 49 8
                                    

Nala masih harus dirawat di rumah sakit. Dari kemaren perempuan itu lebih banyak diam. Ia belum bisa diajak bicara. Hal tersebut tentu saja membuat Dikta jadi khawatir dengan kondisi istrinya itu.

"Dikta kamu istirahat dulu, biar ibu yang gantikan jaga Nala." Dari mulai Nala dirawat, Dikta tidak pernah beranjak dari sisi istrinya.

"Bawa keluar, cari udara segar." Ibu Nala mencoba memberi Dikta waktu untuk sendiri.

Dikta memilih mengikuti saran ibu mertuanya itu. Ia akan ke taman sebentar untuk sekedar menenangkan pikiran, meski tidak akan benar-benar tenang.

Dikta memilih duduk di bangku taman rumah sakit. Duduk sendiri dengan tatapan kosong, sementara air mata sudah mulai menetes. Dikta tidak ingin menangis, tapi air mata itu keluar dengan sendirinya.

Dikta tidak sekuat ketika ia berada di depan Nala. Laki-laki itu ingin menangis dan berteriak pada seluruh dunia. Kenapa kesempatan ia untuk menjadi ayah harus direnggut?

Banyak pertanyaan dan protes yang mungkin Dikta layangkan. Tapi, semua itu tetap tidak bisa merubah apa yang sudah digariskan.

"Dikta!" teriakan seseorang menyadarkan Dikta dari lamunannya. Ia segera menyeka bekas air mata di pipinya.

"Gue dapet cctv nya!" seru Aska bersemangat.

"Lo harus liat," perintah Aska memberikan ponsel miliknya. Dikta mengambilnya dengan segera.

Rasa sedih yang semula menguasai Dikta berubah menjadi amarah. Dikta harus menemukan pelaku yang sudah menabrak Nala. Orang yang tidak punya tanggung jawab sama sekali. Menabrak seseorang dan langsung pergi begitu saja.

Dikta menatap layar dengan serius. Laki-laki itu semakin menajamkan penglihatannya, saat mata Dikta menangkap sosok yang ia kenali di sana. Perempuan itu, tidak salah lagi dia adalah Ara.

"Ara ada di sana," ujar Aska menyadari Dikta sudah melihat keberadaan Ara.

"Dilihat dari cctv, Ara sempat mendekati Nala sebelum dia lari."

"Nggak salah lagi, pasti perempuan itu dalangnya," ungkap Dikta dengan mata penuh amarah. Tidak ada lagi rasa sabar yang tersisa untuk perempuan itu.

"Gue bakal buat perhitungan sama dia!" Dikta berdiri dan hendak beranjak pergi dalam keadaan emosi.

"Kita belum punya bukti," ujar Aska menahan Dikta.

"Cctv ini buktinya."

"Dik, ayo berpikir yang jernih. Di cctv memang ada Ara, tapi nggak ada rekaman yang memperlihatkan dia terlibat. Bahkan, di sini Ara seolah ikut nolongin Ara," jelas Aska.

"Mungkin belum bisa pakai jalur hukum. Tapi, gue tetap mau bikin perhitungan sama dia."

"Oke, kita temuin Ara. Tapi tolong, kontrol emosi lo. Jangan sampai hal yang nggak diinginkan terjadi."

Rasanya Dikta sudah muak dengan drama yang berhubungan dengan perempuan itu. Ara dan semua tingkahnya yang menjijikan di mata Dikta. Jika waktu bisa diputar, maka Dikta tidak ingin kenal dengan perempuan itu sedari awal.

"Gue liat kondisi Nala sebentar, setelah itu kita pergi."

Sebelum pergi, Dikta ingin memastikan kondisi Nala terlebih dahulu. Ia juga harus izin kepada istrinya untuk keluar. Mumpung ada ibu yang menjaga, Dikta bisa pergi bersama Aska. Meski sebenarnya Dikta belum ingin meninggalkan Nala.

***

"Ara ada di rumahnya."

Kini Dikta dan Aska sudah sampai di depan rumah Ara. Pagar putih yang menjulang itu tertutup rapat. Dikta tidak yakin ada kehidupan di dalam sana. Hingga Aska mencoba turun dan bertanya pada satpam yang berjaga.

Ketika Harus Bersama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang